Senja ini aku mampu
menuliskan larik-larik paling perih. Menuliskan, bagaimana langit runtuh dan
jingga gemetar di ujung sana. Aku mencintainya sesekali, dan dia pun seperti
mencintaiku. Dan kala senja seperti ini, mestinya aku mampu merengkuhnya di
bawah jingga tanpa tepi.
Bagaimana mungkin aku tak
terhanyut dalam tenang matanya, tapi aku sanggup menulis larik-larik puisi ini
karena di kepala, dia tak lagi ku capai, di dada, dia tak lagi ku gapai. Dan
senja ini, puisi menetas di dada seperti embun yang menetes di rerumputan.
Tak mengapa jika cinta tak
bisa disini menahan dan menjaga. Sebab seingin apapun aku agar dia ada disini,
tetap saja tatapku tak sanggup walau hati ini terus mencari.
Pepohonan berubah putih dan
patah senja ini juga. Kami yang dulu sempat bersama, kini jatuh
sendiri-sendiri.
Aku memang tak lagi
mencintainya, sungguh. Cinta itu sungguh ringkas, namun melupakannya butuh
waktu. Karena setiap senja seperti ini, sakit itu kerap terasa. Jiwaku amat
mati.
Tapi sakit ini adalah sakit
terakhirku karenamu, dan ini puisi terakhirku yang ku tuliskan tentangmu. Kau,
sebuah nyanyian yang selalu dilagukan sepi. Kau, jantung yang mendenyutkan arti
dari sekumpulan aksara mati.