“Sebuah cerita cinta masa lalu bisa jadi hal
yang sangat membekas dan sangat sulit untuk dilupakan. Cinta yang terkadang
masih membuat kita terjebak olehnya. Kenangan pahit akan tersingkir bersamaan
dengan kenangan indah yang akan selalu membekas dan berubah menjadi bulir air
mata. Dan saat itu adalah saat dimana tidak ada seorang pun yang tau kecuali
kamu, tuhan, dan kamarmu yang seketika berubah dingin...”
***
“Giiin...
Lo itu ngapain aja sih? Daritadi gue cuap-cuap apa lo ga dengerin sama sekali, haah?
Lo pikir gue apa? Radio rusak? Pengantar tidur lo?” Suara cempreng gadis dengan
kawat gigi yang berbaring disebelah Gina mengagetkan Gina yang menatap nanar,
lurus ke langit-langit kamarnya.
“Lo
itu ngagetin gue aja sih, Le. Gabisa liat orang tenang dikit aja” Gina
menggerutu sambil beranjak dari kasur king size nyamannya menuju sliding door yang menyambungkan kamar ke
balkon yang mengarah ke taman belakang rumahnya. Mata hazel indah milik Gina
yang diperoleh dari ayahnya yang memiliki darah Belanda terlihat berbinar
menatap bintang yang bertabur menghiasi malam.
“Bukan
ngagetin geblek. Lo sendirikan yang minta gue menjelaskan semua kegamangan lo.
Kerisauan hati lo. Kegundah-gulanaan lo. Dan segalanya tentang lo dan masa lalu
lo itu. Lo nya malah diem kaya mannequin
naked gitu” Lexy yang bertubuh kurus yang berwajah sangat Asia ikut
beranjak dari kasur nyaman milik Gina dan berjalan mendekat, menyusul Gina yang
sudah bersandar di pagar besi balkonnya sambil menengadah menatap
bintang-bintang yang bertaburan.
Gina
hanya mampu tertawa mendengar omelan Lexy yang terkadang memang begitu
berlebihan. Naked mannequin. Gina
bener-bener ga habis pikir Lexy temennya yang super duper sassy itu bisa ambil
perumpamaan seperti itu buat ngegambarin Gina yang jelas-jelas melamun.
Benar-benar tidak masuk akal bagi Gina, tapi itulah Lexy. Sahabatnya sejak SMP
yang begitu dia sayangi. Satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya walau
terkadang Gina suka bete sendiri ngadepin Lexy yang cerewet ampun-ampunan.
“Jadi...?
Kesimpulannya, setelah 2 taun ga berkabar lo masih nungguin si mister almost fine itu?” Lexy melirik Gina yang
masih sibuk dengan bintang-bintang di langit yang tampak begitu cantik malam
itu, membuat hatinya lagi-lagi berdesir. Entah karna keindahan yang dipancarkan
bintang-bintang, atau karna perasaannya sendiri yang sedang tidak menentu.
“Namanya
Bara, Le. Bukan Mister almost fine atau yang lainnya” Gina mendelik
kearah Lexy yang dengan santainya menatap Gina tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Lexy
bukannya menjawab, gadis kurus itu justru berjalan kearah meja rias Gina dan
mengambil sebuah foto hasil photo box yang terselip di pinggiran cermin Gina.
Foto Gina dengan seorang cowok bermata gelap yang tersembunyi dibalik
kacamatanya. Di foto itu Gina tampak tersenyum lebar sambil berpose dalam
beberapa gaya. Di pojok kiri atas, Gina tampak tersenyum sambil melirik cowok
berkacamata tadi yang juga melirik kearah Gina. Lalu ada foto Gina yang
menyandarkan kepalanya di pundak cowok tadi, lalu foto mereka dengan kedua
lidah terjulur, saling berangkulan satu sama lain, dan yang paling Lexy suka adalah
foto saat Gina mengerucutkan bibirnya kearah kamera sementara cowok
disebelahnya itu merangkulkan sebelah tangannya pada Gina dan tangan satunya
yang bebas menjawil manis pipi Gina. Serasi.
“Lo
liat ini. Ada Davin yang jauuuh lebih hebat dari si Mister almost fine lo itu. Jelas banget kalo Davin sayang sama lo, Gin.
Cinta. Dia itu bukan almost fine lagi, tapi udah fine banget dah buat lo” Lexy menyodorkan foto Gina dan Davin
(sahabat Gina dari kecil) yang hanya dibalas dengan sebuah lirikan singkat dari
Gina.
***
Natagina
Anne Shekclerr. Gadis Indo-Belanda yang hidup dengan kemewahan, tapi tetap
dalam kesederhanaannya. Hotel milik Shecklerr company yang tersebar nyaris
diseluruh tempat wisata dunia tidak membuat Gina senang bepergian ke
tempat-tempat seperti New York, London, Dubai, Jepang, atau Paris, bahkan Los
Angeles dan Las Vegas sekalipun. Gina lebih senang di negaranya sendiri.
Derawan, Bali, Lombok, Sabang, bahkan Wakatobi dan Raja Ampat pernah
didatanginya entah dengan keluarganya, atau teman-temannya.
Gina
adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya Melissa Anne Shekclerr adalah
mahasiswi sebuah perguruan tinggi fashion terkenal di Milan yang sudah
malang-melintang di dunia fashion. Pintar? Sudah jelas. Hanya saja Mels –begitu
Melissa biasa dipanggil- sangatlah berbeda dengan Gina. Mels tidak akan
segan-segan memamerkan kekayaan, kecantikan, juga kepintarannya dihadapan orang
lain. Namun orang-orang nyaris tidak pernah sebal ataupun berbicara hal-hal
yang buruk tentang Melissa karna mereka beranggapan bahwa adalah hal wajar bagi
Melissa untuk menyombongkan diri dengan segala yang dimilikinya, sehingga
bagaimanapun Mels seenaknya merubah jadwal pertemuan hanya untuk menghadiri
sebuah pesta di belahan dunia lain atau bagaimana Mels meninggalkan runaway hanya
karna sebuah panggilan kecil party mendadak dari sahabat-sahabatnya, setiap
orang tetap menyukai Melissa. Tetap senang dengan gadis cantik yang chic itu.
Sementara
Gina, banyak pria yang mengejar gadis cantik nan rupawan itu dengan atau tanpa
embel-embel Shecklerr dibelakangnya. Sosok Gina yang terkesan manis membuat
banyak pria berlomba-lomba mendekati Gina. Rambut curly brunette Gina yang
kerap dibiarkan terurai akan bergoyang-goyang mengikuti lenggok tubuh
semampainya saat berjalan. Mata hazelnya tampak menyatu dengan kulit putihnya.
Juga bibir penuhnya yang diolesi lipgloss, selalu terlihat menarik. Kepribadian
Gina yang ramah juga membuatnya gampang dekat dengan siapapun disekolahnya.
Sekolah biasanya. Sekolah negri yang meninggalkan kenangan begitu mendalam
baginya.
Sejak
kembali ke Indonesia saat berumur 10 tahun, Gina sudah memutuskan untuk masuk
ke sekolah umum di negara asal ibunya itu. Selama di Belanda Gina memang
disekolahkan di sekolah khusus. Bukan sekolah anak berkebutuhan khusus, tapi
seperti sekolah bertaraf Internasional dengan biaya yang pastinya selangit. Dan
sejak mengetahui keputusan ayahnya untuk melebarkan sayap perusahaan Shecklerr ke
wilayah Asia khususnya Asia Tenggara, Gina yang tertarik dengan negara asal
ibunya itu langsung berandai-andai sampai akhirnya memutuskan untuk bersekolah
di sekolah umum (negeri). Awalnya Damien Shecklerr –ayahnya- tidak menyetujui
sama sekali dan memilih home schooling untuk Gina. Namun setelah satu tahun
ber-home schooling dan Gina masih merengek tentang sekolah negri, Damien
akhirnya mengizinkan Gina ke SMP negeri dengan catatan harus tetap menjadi
nomer satu yang tentu saja lagsung disanggupi Gina yang akhirnya bertemu Lexy
Longo gadis berkebangsaan Indonesia yang mempunyai darah Amerika Latin dari
buyutnya. Ya, Buyutnya.
***
Gina uring-uringan sambil menatap
notebooknya yang menjadi satu-satunya sumber cahaya dikamarnya yang gelap itu.
Entah kenapa Gina tiba-tiba merasa begitu kalut dan sedih. Pikirannya kembali
pada masa-masa saat pertama kali dirinya mengenal sosok jutek yang kalau boleh
jujur sangat berkharisma. Seniornya sewaktu SMP yang merupakan kapten tim
basket kebanggaan sekolahnya. Hampir seluruh siswi disana menaruh rasa pada
cowok tersebut. Entah itu kagum, entah itu sekedar suka, atau rasa sebal karna
sikap cowok itu yang memang sangat cuek.
Akbar
Aradi –Bara-, cowok kebanggaan SMP Negri 178 itu memang terkenal dan dikenal
nyaris seantero sekolah. Mulai dari kepala sekolah, staff administrasi,
guru-guru, siwa-siswi SMPN 178, penjaga kantin, satpam, semua pasti mengenal
sosok Bara yang supel. Supel? Iya, Supel. Sebenarnya Bara adalah sosok supel
yang gampang bergaul dengan siapa saja, jelas terlihat dari bagaimana dia
menjaga hubungan baik dengan teman-teman sesama siwa SMPN 178 atau dengan
siswa-siswa dari sekolah lain. Hanya saja pembawaan Bara yang pendiam dan cuek
membuatnya mendapat julukan senior jutek dari junior-juniornya. Terlebih saat
masa orientasi, saat Bara dengan enggannya menerima surat cinta dari hampir
setengah siswi yang masuk ke SMPN 178. Bara juga terkenal dengan omongannya
yang pedas, yang tidak jarang membuat siapapun yang menjadi lawan bicaranya
bergidik mendengarnya. Namun kembali lagi, sosok itu terlalu bersahaja untuk
dibenci.
***
“Mas Baraaa...” suara seorang
gadis kecil menyadarkan Bara dari lamunannya. Menyadarkan Bara yang entah sejak
kapan mulai masuk kedalam memori masa lalu, membiarkan setiap kepingan kenangan
dalam otaknya berputar dan membawanya mengingat kenangan tersebut.
“Alikaaa...
Kamu makin cantik aja” Ucap Bara sambil memeluk Alika, keponakannya yang
berumur 6 tahun itu erat.
“Om
Baranya capek, likaaa. Kamu mendingan ganti baju dulu deh sama mbak Mia sana.
Baru ntar main sama om Bara. Gih, sana” Tami, kakak ipar Bara sekaligus Bunda
Alika berujar sambil duduk dihadapan Bara yang masih memeluk Alika erat.
“Siapa
bilang mas Bara capek, orang mas Bara dari tadi nungguin Alika pulang kok.
Yakan?” Bara mencium pipi Alika yang tersenyum manis kepada masnya itu.
“Mas,
mas, Om tau. Perasaan masih muda kamu” Tami mendengus mendengar Bara yang tetap
ngotot dipanggil mas oleh Alika yang jelas-jelas adalah keponakannya.
“Alika
lebih senang manggil mas, bundaaa. Mas Bara kan emang masih muda” Jawab Alika
polos sambil bergelayut manja di lengan Bara. Membuat Bara tertawa senang
sambil menatap Tami yang hanya mampu menggeleng.
“Yaudah
sana ganti baju dulu, baunya gaenak ni, Lika” Bara mengendus Alika sambil
mengernyitkan wajahnya.
Alika
memukul pelan Bara yang tertawa mendapti ekspresi sebal Alika “Jahat deh Om
Bara. Dasar udah tua” Alika mencibir sambil berlalu, meninggalkan Bara yang
tertawa menghilangkan kegalauannya untuk sementara waktu.
“Masih
bisa ketawa gitu kamu, Bar?” suara rendah Tami seketika menghentika tawa Bara.
Membuat Bara kembali menunduk dan menghea nafas pelan.
Walaupun
Tami adalah kakak ipar Bara, tapi Tami cukup banyak mengetahui hal-hal tentang
Bara. Banyak hal yang Bara ceritkan pada Tami, entah itu soal kuliahnya atau
soal perempuan. Tami juga tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa Bara
sedang memikirkan sesuatu, Tami akan bisa segera menangkap kegundahan Bara
hanya dari bagaimana cara Bara menatap. Tatapan kosong Bara memang gampang sekali
terlihat saat cowok berperawakan dewasa itu dalam masalah.
“Masih
mikirin yang kemarin?” Tembak Tami tanpa babibu lagi. Tami cukup gregetan
melihat Bara yang masih berpaku pada satu cewek dari masa lalunya yang masih
terus dipikirkannya. Entah bagaimana cara berfikir Bara sebenarnya, tapi yang
Tami tau Bara terlalu payah hanya untuk sekedar menunjukkan rasanya, terlalu
takut untuk menyampaikan hal yang sebenarnya dirasakannya.
“Kalo kamu
terus-terus begini, gimana kamu bisa balik lagi deket kaya dulu sama dia,
gimana kamu bisa tau keadaan dia, dan kamu yang begini ngarepin kalo dia bakal
terus ada buat kamu? Ngarepin dia terus-terusan single? Ngarepin dia bakal
nunggu kamu sampe kamu berani ngungkapin atau setidaknya nunjukin rasa kamu ke
dia? Iya?” Kata demi kata yang meluncur dari bibir Tami serasa menampar Bara
telak di pipinya. Begitu perih dan pastinya akan terus diingatnya. Bara sadar
gadis itu tidak akan terus menunggunya, tapi Bara juga cukup tau dirinya
terlalu pengecut untuk kembali memulai.
“Aku
capek, Mbak. Mau istirahat” Bara tau akan banyak ‘tamparan’ yang akan Tami
layangkan padanya, namun Bara juga tau bahwa dia tidak akan siap menerima semua
tamparan itu. Tidak akan pernah siap. Menyadari betapa pengecutnya saja dirinya
sendiri sudah cukup membuat Bara menderita.
“Kalo
jodoh, gimanapun caranya pasti akan ada jalan” Seru Bara sambil berbalik
meninggalkan Tami yang masih menatapnya heran.
“Tapi kalo
gaada usaha, garis tangan bisa berubah sendiri. Dimana-mana, cewek itu butuh
kepastian, Bar. Gaada cewek yang akan selalu nunggu sesuatu yang ga pasti”
Jawab Tami yang semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Bara.
“Gue tau,
mbak. Gue emang pengecut” Gumam Bara pelan.
***
“Gin...”
sebuah suara yang Gina hafal betul menyapanya pelan namun cukup kuat untuk
menghentikan langkah teraturnya di tengah keramaian koridor SMAnya.
“Davin”
Sahut Gina saat berbalik dan mendapati sosok Davin dengan varsity dan jeans
belelnya menatap Gina sendu.
Davin
berjalan mendekat kearah Gina denga tatapan sendunya yang membuat Gina heran
sekaligus salah tingkah. Bagaimanapun juga, pengakuan Davin tentang rasa yang
dimilikinya itu sedikit banyak membuat Gina bingung bagaimana harus menyikapi
Davin yang seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Bersikap seolah
semuanya berjalan seperti dulu padahal Gina sudah mati-matian berusaha agar
tidak terlihat berbeda.
“Kamu
udah selesai sidik jari?” Tanya Davin saat mereka hanya berjarak beberapa
centimeter.
Gina
hanya mampu mengangguk sambil menyingkirkan tatapannya dari wajah Davin yang
masih membuatnya terus merasa bersalah karna tidak bisa membalas rasa dari
sahabatnya itu. Davin terlalu baik dan Gina terlalu bodoh telah menyia-nyiakan
Davin, setidaknya begitu menurut pendapat Lexy, bahkan Nate yang mengetahui
cerita tersebut dari Lexy saat mereka nyaris menghabiskan malam yang panjang
dengan saling bertukar cerita di apartemen Lexy.
“Jadi
kamu bakal langsung ke Amerika?” Tanya Davin lagi saat melihat sebuah anggukan
kecil dari Gina yang memberi efek indah pada rambut brunettenya yang
bergelombang.
Gina
lagi-lagi hanya mampu mengangguk. Kata-kata yang meluncur dari bibir Davin
beberapa minggu lalu seperti kembali lagi terputar di otaknya, menyebabkan
gaung yang membuat Gina sulit untuk memikirkan hal lain. Membuat Gina dipenuhi
oleh suara parau Ega yang untuk pertama kali Gina dengar. Suara parau yang
didengarnya dari sahabat yang disayanginya, yang menatapnya sambil
berkaca-kaca. Entah menahan haru, entah menahan perih, atau justru
mengekspresikan sebuah kelegaan. Gina hanya mampu menerka, tapi Gina juga jelas
terluka dan merasa begitu jahat pada Davin yang selalu ada untuknya.
Davin
masih menatap Gina saat Gina mencuri pandang mentapnya dengan ekor mata Gina.
Davin masih menatapnya dengan tatapan sayang yang sama. Tidak bertambah, tidak
juga berkurang sedikitpun. Hanya saja, sebuah asa yang tercabik dapat Gina
lihat dengan jelas disana. Dimana sebuah kebahagiaan terhempas, terpecah belah
berkeping-keping.
“Kamu
sekarang ga ngerasa nyaman ya sama aku?” Tanya Davin yang sedari awal menyadari
perubahaan air muka dan sikap Gina.
Gina
menggeleng, namun dalam hati mengiyakan.
“Jadi?”
Davin terus bertanya ditengah kebisuan dan kecanggungan yang terus diciptakan
Gina, berusaha menemukan sebuah jawaban dari kebisuan Gina.
“Vin,...”
Ada jeda yang tercipta untuk beberapa waktu “Gue... gue ga mau kita ber’aku’ –
‘kamu’. Kita ga terbiasa kaya gitu, Vin. Itu ngebuat gue...”
Davin
tersenyum “Maaf, Gin. Gue emang lan...”
“Lo
bukan lancang. Gue tau bukan hal yang mudah ngebiarin rasa lo yang jatuh
terlanjur jauh itu ga berbalas, gue tau persis gimana rasanya cinta sendirian,
Vin. Sakit. Jadi...”
“Semua
bakal indah pada waktunya, kok” Jawab Gina datar. Kalimat Davin memukulnya telak.
Tepat di titik terlemahnya.
“Ya,
dan waktu akan dengan senang hati beranjak ninggalin lo perlahan. Good luck
buat semua, Gin. You’re still the best. Gue tau lo ga sebodoh itu akan
ngebiarin diri lo terus menerus bertahan dengan yang ga pasti” Ucap Davin
sambil berlalu meninggalkan Gina yang hanya mampu mematung menatap Davin yang
berbalik dan perlahan menjauh, semakin jauh, hingga akhirnya hilang dari
pandangannya.
*****
Thank you for reading this one! leave your comment below...
LOVE
xoxo
LOVE
xoxo
keren kak! :D
ReplyDelete