Senja
itu, matahari tua beradu dengan mega melahirkan
kilau jingganya dari balik jendela coffee
shop di kawasan Champs-Élysées, Paris. La plus
belle avenue de monde memang benar-benar pantas untuk menggambarkan keindahan
jalanan di Paris yang begitu terkenal itu. Orang-orang yang lalu lalang dalam
diam, pasangan yang mengumbar mesranya, juga beberapa orang yang tampak
terpukau dengan real estate termahal
kedua di dunia setelah Fifth Avenue
di New York itu memberikan sedikit hiburan bagi sepasang mata yang menerawang
dari balik jendela.
“Le ciel est trés nuageux” sebuah suara yang terdengar
begitu familiar mengagetkan pemilik mata yang sedari tadi mendaratkan
pandangannya pada orang yang lalu-lalang mengitari Champs-Élysées. Membuatnya
menoleh dan tersenyum pada gadis berambut terkucir yang melepas celemek dari
tubuhnya.
“Mendung banget sih, ada apa?” tanyanya lagi setelah
menarik kursi dihadapannya dan menghempaskan tubuhnya disana.
“Il va faire
de l’orage” jawab pemilik sepasang mata itu sambil mengetukkan jarinya diatas
meja coffee shop milik gadis dihadapannya itu.
“Badai apa? Kamu ini mengada-ada aja” gadis itu
menggeleng, membuat rambutnya yang terkucir bergoyang ke kanan dan ke kiri.
“J’ai soif. Vous désirez? Chocolat chaud?” tanya
gadis itu dengan mimik gerah sambil memanggil salah seorang pelayannya, memesan minuman.
“Oui. Volontiers” pemuda itu mengiyakan tawaran gadis itu untuk memesan coklat hangat sambil menarik sudut bibirnya, melengkungkan sebuah senyuman.
Setelah gadis itu menyebutkan pesanan coklat panas mereka
kepada pelayan yang datang dengan tergopoh-gopoh kearah mereka, tidak ada lagi
yang bersuara. Mereka berdua terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka
masing-masing, membiarkan keheningan memenjarai mereka diantara pelanggan coffee
shop yang juga sepertinya enggan untuk membuat ricuh suasana.
“Aujourd’hui , je déjeune avec un collégue” kalimat
itu meluncur dari bibir si pemilik sepasang mata yang sedari tadi masih menatap
berkeliling dan semakin tampak gelisah.
“Sounds great. Makan siang sama mereka dimana?”
balas gadis dihadapannya itu dengan senyum yang masih terus mengembang walau
dia sadar ada yang tidak beres dengan pria dihadapannya itu.
“Chez Plumeau, Montmartre. Merci” ucapnya singkat
sambil berterimakasih kepada pelayan yang menghantarkan coklat panas untuk
mereka.
“Good place.
Aku juga pernah kesana beberapa kali sama temen” respon gadis itu sambil
langsung menyeruput coklat panas yang baru saja disajikan dihadapannya. Coklat
panas di coffee shop miliknya ini
memang terkenal kelezatannya, hingga dirinya sendiri pun nyaris tidak bisa
mengabaikannya.
Pria
itu hanya tersenyum sambil menatap gadis dihadapannya itu. Gadis yang tenggelam
dengan kenikmatan coklat hangat di senja yang cukup dingin di kota teromantis
di dunia. Mata gelapnya meneliti setiap inci wajah gadis dihadapannya itu,
membiarkan tubuhnya menghangat dengan sendirinya.
“Repose-toi
bien” ucap gadis itu mengagetkan pria yang masih mengaitkan matanya pada wajah dihadapannya
dan membuatnya sedikit tersentak.
“Huh?” pemuda itu mengernyit heran sekaligus terkejut.
“Istirahatlah,
kamu butuh istirahat. You look so worse
lately” gadis itu tersenyum sambil kembali menyeruput coklat hangatnya.
Tidak bisa dipungkiri, masih ada kecanggungan yang merajainya saat membicarakan
hal yang cukup personal dengan pria di hadapannya itu.
Pria
itu tertawa kecil “Vous avez raison. Partner kerja aku juga bilang begitu”
jawabnya sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas ucapan gadis
dihadapannya.
Gadis
itu hanya tersenyum sambil menghela nafas kecil. Perasaannya kembali bergejolak,
membuatnya ragu akan apa yang dia rasakan. Semua terjadi begitu cepat setelah
apa yang terjadi diantara mereka berakhir dengan sangat tragis. Cinta yang
pernah mereka miliki akhirnya harus mereka putus, harus mereka kubur
dalam-dalam sebelum sempat saling menyapa. Dan tidak ada yang patut disalahkan.
Tidak keduanya, tidak juga waktu, apalagi keadaan. Takdirlah yang telah
menuntun mereka ke jalan yang mereka tapaki sekarang. Dan di kota teromantis
sedunia itu, semua berakhir sekaligus bermula.
“Tu me
manques...”
“Ryan...”
“Ma chérie...” sebuah suara rendah mengagetkan Ryan dan
Mia yang nyaris akan tenggelam dalam percakapan penuh emosi.
“Hey, mon amour...” Mia menyahut dengan nada suara
yang sedikit meninggi seolah ingin menegaskan pada Ryan tentang statusnya
dengan sang pemilik suara rendah yang dengan seketika membuyarkan semua
skenario yang telah tersusun matang dikepala Ryan.
“Don’t you have any course this evening?” Mia yang
jemarinya telah di genggam pemuda dihadapannya itu bertanya lembut tanpa
memperdulikan Ryan yang menatap mereka dalam diam, berusaha meredam sesuatu
yang bergemuruh di dadanya. Dan dari sara Mia menatap pemuda itu, cara Mia
membenarkan jaket pemuda itu, semuanya benar-benar membuat Ryan harus menelan
kembali semua yang akan diucapkan.
“ Je peux résister à tout, sauf à toi. I want to meet you first
before i take the French course. Lack of spirit lately” ucap pemuda tampan itu
dengan aksen British yang begitu kental. Mata hijaunya mengerjap nakal kearah
Mia yang menatap balik pemuda itu dengan sangat lembut.
“Hahaha...” Mia hanya tertawa
renyah sampai matanya menangkap sosok Ryan yang menggeser duduknya sambil
berdeham kecil sebelum menyeruput coklat panas yang dipesankan Mia.
“Ah, mon amour it’s Ryan, my mate.
He’s also from Indonesia” Mia mengenalkan Ryan yang langsung menyambut uluran
tangan pemuda dihadapannya itu dengan canggung.
“Peter...” pemuda itu memperkenalkan
dirinya dengan suara rendah yang terdengar begitu khas dan tentu saja pelafalan
yang terdengar begitu British.
“Ryan...” balas Ryan sekenanya dan
kembali pada posisi duduknya sambil terus meredam perasaan kesal pada dirinya
sendiri.
“Well, as you know i’ve a class
then now i’ve to go. Wait me okay, i’ll pick you up after the course. Okay?”
Peter berucap sambil mengusap pucuk kepala Mia yang tersenyum manis sambil
terus menatap Peter penuh cinta.
Mia tidak menyahut, namun gadis itu
mengagguk sambil mengelus lengan kokoh milik Peter yang langsung mendaratkan
sebuah kecupan dibibir tipis milik Mia “Chocolat chaud?” tanyanya usil saat
mendapati sisa-sisa coklat panas dari bibir Mia yang langsung membuat Mia mengangguk
disela tawa kecilnya.
“Semangat!” Mia membisikkan kata
dalam bahasa Indonesia saat tubuh kecilnya di peluk oleh tubuh jangkung Peter.
“Terimakasih” balas Peter dengan
logat anehnya.
“Tu es toujours dans mon coeur.
Forever” ucap Peter sambil lagi-lagi mendaratkan kecupannya. Membuat semburat
merah di pipi Mia semakin terlihat jelas dari sudut mata Ryan yang sedari tadi
memperhatikan mereka.
“Enchanté, Ryan. À plus tard” Peter
berpamitan pada Ryan yang hanya menyahut dengan sebuah senyuman kecil yang
terlihat begitu dipaksakan dan anggukan enteng dari tempat duduknya.
“Votre petit ami? pacar kamu?” cecar Ryan
sesaat setelah Mia kembali duduk dihadapannya dengan rona merah jambu di pipi
dan senyum tertahannya yang masih bisa dilihat Ryan dengan sangat jelas.
Mia menghela nafas sambil
mengangguk, menyeruput coklat panasnya lagi dalam diam, membiarkan Ryan
berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Entah kenapa Mia begitu yakin Ryan akan
menyatakan sesuatu tentang rasanya, perasaannya atas Mia. Hanya saja tidak ada
lagi yang mampu Mia lakukan. Hatinya telah dimiliki oleh Peter. Nyaris
seutuhnya dan nyaris menghapus nama Ryan yang sempat terpatri di sudut terindah
hati Mia.
“Quelle chance. Beruntung...” gumam
Ryan sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang didudukinya. Matanya
kembali menatap orang-orang yag berlalu lalang di sepanjang Champs-Élysées. Dan matahari semakin lama semakin
condong ke barat, menghasilkan semburat jingga yang seolah mampu menggambarkan
perasaan Ryan yang begitu jingga. Cerah, berwarna, namun memiliki sisi
gelapnya.
“Pardon...” Mia berseru sambil menjauhkan bibir
cangkir dari bibirnya.
Hening yang tercipta untuk beberapa saat sampai
akhirnya Ryan memecah keheningan itu dengan sebuah pertanyaan yang lagi-lagi
membuat Mia mengernyit heran “kenapa...?”
“Kenapa? Je ne comprends pas. Kamu ngomongin apa
sih?” Mia balas bertanya pada Ryan yang masih tidak melepaskan matanya dari
jendela coffee shop yang mulai semakin ramai itu.
“Vous comprenez bien... kamu pasti ngerti maksud aku” ucap Ryan yang langsung
dijawab dengan gelengan oleh Mia.
“Aku bener-bener ga ngerti” tambah Mia saat Ryan
masih enggan berbicara lebih banyak tentang maksud perkataannya, atau lebih
tepatnya pertanyannya.
“Aku ga pernah peduli sejauh apa jarak yang
memisahkan kita. Aku juga ga pernah peduli setebal apa rindu yang udah
nyelimutin aku. Aku...”
“Ryan...” Mia memotong ucapan Ryan dengan suara yang
tercekat. Tubuhnya seketika menegang setiap mendengar kata demi kata yang
terucap dari bibir Ryan.
Ryan mengalihkan pandangannya dari jendela dan
memandang wajah manis milik Mia. Wajah Asianya yang memabukkan terlihat begitu
kontras dengan orang-orang disekeliling mereka saat itu, membuat setiap mata
pasti akan menoleh dua kali untuk melihat keindahan yang dimilikinya. Kulit
coklatnya terlihat begitu sehat sekaligus eksotis berpadu dengan rambut hitam
gelapnya yang nyaris selalu terkuncir. Mata besar milik Mia juga selalu membuat
gadis itu terlihat seperti terus bersemangat.
Mia merasa risih saat Ryan terus menatapnya nyaris
tak berkedip, membuat perasaannya kembali tergelitik mendapati pandangan Ryan
yang cukup dirindukannya setelah Ryan pergi untuk menyelesaikan S1nya di
Indonesia sesuai keinginan ibunya. Meninggalkan Mia yang memang sudah menetap
di Paris lebih dari 15 tahun.
“Mia...” Ryan mendekat dan meraih kedua tangan Mia
kedalam genggamannya. Membuat Mia bungkam dan hanya mampu menatap Ryan dan
segala tingkah polah bodoh yang dilakukannya.
“Je suis amoureux de toi...” ucap Ryan dengan
pandangan mata yang menatap lurus kearah Mia sambil berusaha meyakinkan Mia
atas ucapannya.
Mia terdiam untuk beberapa detik sebelum akhirnya
sebuah tawa renyah yang kaku terdengar dari bibirnya “Vous plaisantez!” Mia tidak percaya dan dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Ryan dan mengatur debaran
jantungnya yang menjadi.
Ryan menggeleng “Je
t’aime parce qu’il y a dans ton coeur je trouve un grand amour pour moi” ucapnya
lirih, nyaris tak terdengar. Ya, Ryan mencintai Mia karena Ryan selalu merasa
Mia memiliki cina yang besar untuknya. Selalu.
“Non...”
kali ini suara Mia terdengar bergetar. Ada hantaman yang tiba-tiba menyesakkan
dadanya. Ada perasaan campur aduk yang menggerayanginya saat mendengar setiap
kalimat yang diucapkan Ryan padanya. Ada cinta disana, ada kesungguhan dan ada
kepastian. Ya, kepastian. Kepastian yang selalu Mia tunggu. Bertahun-tahun.
“Toi et moi, ça ne changera pas” sambung Ryan lagi saat melihat sesuatu
mengusik Mia. Namun Mia masih menggeleng lemah, berusaha meredam sesak di dadanya sambil
terus meremas ujung bajunya. Semua tidak akan menjadi serumit ini kalau saja...
“Menapaki jalan rindu itu ga gampang kan? Kamu tau benar hal itu. Ada
kabut, ada airmata, ada perih, tapi dibalik itu semua ada cinta. Dan kamu tau,
dihatimu selalu ada aku yang akan memelukmu. Iya kan?” Ryan lagi-lagi mencoba
meruntuhkan pertahanan Mia. Mencoba meyakinkan Mia dengan cintanya walau dia
tau Mia sudah jatuh cukup jauh kedalam kelembutan dan segala yang diberikan
lelaki British yang dikenalkan Mia dengan senyum sumringahnya beberapa waktu
lalu. Lelaki yang pastinya mengisi hari-hari Mia saat Ryan kembali ke tanah air untuk menimba ilmu.
“Que c'est drôle...” Mia berujar dengan sinis.
“Kamu itu lucu ya. Kamu itu ngebawa
terang buat aku, ngebawain tenang. Dan kamu datang, terus kamu ngilang gitu
aja, sekarang kamu balik dan...dan kamu omongin hal ini kaya ga punya beban
apapun” Mia berusaha sekuat tenaga untuk terus menyambung setiap kata yang
terdengar bergetar dan semakin bergetar. Ryan benar-benar mempermainkan
perasaannya.
“Mia, please... i know that...”
“No. You know nothing. Kamu ga tau seberapa
susahnya aku disini saat kamu ga ngabarin aku, saat kamu ga bales semua e-mail
aku, saat kamu pergi seolah-olah kamu ga ninggalin siapapun disini. Très
désagréable!”
“Aku...Aku mau konsentrasi sama...”
“Apa? Kamu mau bilang kalau kamu mau konsentrasi
sama kuliah kamu?” Mia menyahut dengan sangat sinis. Dagunya terangkat dan
jelas sekali gadis itu begitu terluka. Terluka oleh cinta lamanya.
“Mia don’t make it hard for me...”
“You always do that. You get me into trouble,
everytime. Aku terus menerka-nerka gimana perasaan kamu ke aku. Kamu selalu
suruh aku nebak kamu, mikir, berspekulasi sendiri dan...”
“Apa itu semua ga cukup, Mi? Apa semua kebersamaan
kita ga bisa nunjukin bahwa kita itu punya sesuatu untuk dipertahankan?” Ryan
menyahut sambil berusaha untuk menahan desibel suaranya agar tidak
meledak-ledak. Ryan sadar Mia terluka,
terluka karenanya. Dan mendapati Mia dengan suaranya yang tercekat sekaligus
bergetar, Ryan benar-benar nyaris gila.
Mia menggeleng lemah sambil tertawa getir “Aku
bukan dukun. Aku cuma cewek biasa yang butuh kepastian, Yan. Mana aku tau kamu
suka sama aku kalau kamu ga pernah bilang apapun” papar Mia getir.
Ryan menghela nafas “Aku kira kamu cukup dewasa
untuk paham bahwa gak semua hubungan butuh label”
Mia mendengus mendengar ucapan Ryan yang seolah
memojokkannya “Tu ne sais vraiment pas quoi que ce soit. Kamu ga tau apa-apa.
Pengorbanan cinta itu persis pelangi. Arc-en-ciel. Akan ada bahagia setelah
kesukaran. And i got my rainbow...” Mia menggantungkan kalimatnya sambil
mencoba membaca ekspresi Ryan sebelum akhirnya menyebutkan sebuah nama
“Peter...”
Ryan menarik tangan Mia saat gadis itu hendak
beranjak dari tempatnya dengan mata berkaca-kaca. Sumpah mati Ryan tidak akan
kuat melihat Mia seperti itu, tapi dia merasa pembicaraan mereka tidak bisa
selesai begitu saja. Setidaknya Mia harus tau bagaimana perasaan Ryan padanya.
Walaupun Mia tidak akan membiarkannya lagi masuk terlalu jauh menyusuri relung
hati gadis manis itu.
Mia kembali duduk di bangkunya sambil melemparkan
pandangannya kearah jendela yang semula menjadi tempat pengalihan pandangan
favorit Ryan. Namun dengan seketika darahnya berdesir dan pandangannya mengabur
saat kata demi kata meluncur dari bibir Ryan “Je veux être l'air que tu
respires, je veux être le ciel que tu contemples, je veux être les lèvres que
tu embrasses, et par dessus tout, je veux être la raison qui fait battre ton
cœur” Ryan menyebutkan kalimat itu dengan tangan yang masih menggenggam jemari
milik Mia.
Mia menggigit bibirnya berusaha
menahan tangisnya “You did all those things, Ryan. Kamu udah pernah jadi udara
yang aku hirup, kamu juga udah pernah jadi langit yang selalu aku pandangi.
Jadi bibir yang selalu ingin aku cium, dan semuanya. Dan yang jelas kamu juga
pernah jadi alasan kenapa jantungku berdebar-debar. Pernah...” Mia membalikkan
semua pernyataan Ryan yang benar-benar mengusiknya itu.
“Dulu...dulu sekali” sambung Mia lagi dengan
sebulir air mata yang jatuh turun ke pipinya yang dengan cepat langsung di
hapusnya. Secepat dirinya beranjak, meninggalkan Ryan yang memejamkan matanya,
berusaha meredam semua perih yang dirasakannya.
Ryan kembali menghela nafasnya
berat. Ada rasa yang tak tergambarkan menyelip di perasaannya saat tiba-tiba
sosok Peter muncul dari pintu yang masih bisa diawasai oleh Ryan. Menghampiri
Mia yang duduk di dekat barista sambil menyeruput kopi, terlihat berusaha
menstabilkan perasannya. Mau tidak mau Ryan melihat pemandangan dihadapannya,
Peter mengalungkan kedua lengannya di leher Mia yang tampak terkejut karena
Peter kembali begitu cepat, secepat kecupan bodoh yang lagi-lagi mendarat di
bibir Mia. Ryan juga dapat melihat cinta yang begitu besar disana. Melihat mata
indah milik Mia yang dulu mengerjap untuknya, karenanya. Senyum yang
terkembang, tawa yang teretas, semua memang pernah ada untuk Ryan. Ya, dulu.
Du-lu.
Tanpa Ryan sadari dirinya
beranjak dari bangku tempatnya duduk. Beringsut pergi tanpa sekalipun melihat
ke belakang. Menoleh keara Mia yang sempat mencuri pandang kearahnya. Berusaha
melepaskan cinta pertamanya. Cinta yang bagaimanapun akhirnya, rasanya, apapun
keadaannya, akan terus terkenang. Cinta yang akan terus diingat sampai
kapanpun.
Sementara Ryan, Ryan pergi
meninggalkan coffee shop di kawasan megah Champs-Élysées beserta cintanya di dalam sana sambil
berbisik pada angin senja di kota teromantis di dunia “Merci pour tout l'amour que tu me donnes.
Je ne t'oublierai jamais. Mon premier amour” sambil berharap angin kota Paris akan dengan senantiasa menyampaikan pesannya pada Mia, gadis yang dicintainya.
“Terimakasih untuk semua cinta yang
kamu berikan. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Cinta pertamaku...”
- End -
No comments:
Post a Comment