Pages

Sunday, January 10, 2016

Keliru

     


     Saat bertemu, kita tidak pernah bicara banyak, memang. Namun di lain hal, kita seperti selalu terus bersemangat. Aku tidak percaya bahwa semua berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus berusaha meyakinkan diriku bahwa bukan cintalah yang aku rasakan. Hanya sepotong ketertartarikan.

     " Ra,..." panggilnya.

     Aku berbalik menatap mata gelap miliknya dari balik lensa kacamataku. Sosoknya yang jangkung dengan seketika memenuhi pandanganku. Rahang tegas, hidung yang mencuat, alis yang bertaut bahkan lesung pipit samarnya tergambar jelas di mataku.

     "Terimakasih" katanya lagi.

     Aku mengernyit heran, menautkan alis "untuk?" tanyaku kemudian. Terheran.

    "Ini" jawabnya sambil menyodorkan sebuah buku sastra lama usang yang beberapa waktu lalu sempat aku pinjamkan padanya. Matanya berbinar menatapku dan senyumnya yang terkembang tidak hilang dari wajahnya.

     "Beneran bagus. Aku suka" sambungnya lagi.
     
    Aku tersenyum lalu mengangguk kearahnya "Sam..." aku hendak mengatakan sesuatu tapi belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, seorang gadis dengan rambut ikal panjang sudah berdiri tepat disampingnya sambil tersenyum manis yang kemudian dengan santainya bergelayut manja di lengannya "yuk, balik" ajaknya dengan mesra sambil melayangkan sebuah senyuman canggung ke arahku.
     
   Aku tak mampu membalas. Aku hanya mampu menelan pahit apa yang aku lihat dihadapanku. Kali ini aku benar-benar percaya bahwa candanya, caranya mengungkap pikirnya adalah tidak lebih dari sekedar dasar pertemanan. Dan aku, aku tidak seharusnya berharap lebih.
  
   "Simpan saja bukunya untukmu" kataku sambil memberikan buku itu lagi padanya. Menghentikan langkahnya yang hampir berbalik, menjauh meninggalkanku.
    
     "Tapi ini..." 
   
     Aku menggeleng memotong ucapannya lalu langsung berbalik, berjalan lebih dulu untuk meninggalkannya. Meninggalkan mereka. Membiarkannya yang menatap punggungku, menjauh.
    
   "Simpan saja buku itu, Aku tidak lagi ingin menyimpan kenangan. Setidaknya, tidak sendirian..." bisikku kepada angin berharap agar angin menyampaikannya pada dia. Dia yang sekali lagi membuatku berharap.


-Selesai-

Saturday, April 11, 2015

Dulu

Aku pernah jatuh cinta padamu, telak. Dulu. Dulu sekali saat celana seragammu masih sebatas lutut dan berwarna biru. Diam-diam aku selalu berharap kau akan tau kebenarannya kelak. Kelak saat waktu berpihak padamu. Entah itu akan terlambat atau tidak, aku tidak pernah tau.

Dan saat ini, saat celanamu tak lagi biru, kita duduk berhadapan di tengah hiruk-pikuk ibukota yang kian menggila sambil berbincang tentang dulu. Dulu yang beberapa tahun belakangan ini coba aku abaikan. Dulu yang kerap membuatku mencari di sela hujan, dulu yang selalu aku rindukan sebanyak gerimis yang jatuh dari langit.

Dia mengaitkan jemarinya, mencoba untuk mengisi kekosongan diantara kami "Betapa aku merindukan kita, Ra..." bisiknya gamang.

Aku menggeleng lemah "Aku bukan lagi orang yang sama" kataku sambil meneguk long black yang ku pesan.

Di sela tegukanku pada jenis kopi favoritku itu, aku menangkap sosok dihadapanku menegang di tempatnya duduk. Manik matanya membesar seperti tidak percaya pada kata-kataku "Apa maksudnya ini, Ra?" tanyanya lirih. Membuatku mengulum senyum kearahnya. Senyuman yang sama seperti yang selalu aku sunggingkan untuknya. Senyuman yang tidak berubah sama sekali, persis sama seperti dulu yang pernah  menjadi milik kami.

Dia masih menatapku "Dulu memang milik kita" kataku.

"Kenangan atas kamu, atas kita, aku hidup dengan mereka selama bertahun-tahun" sambungku lagi sambil menatap lurus manik matanya yang seolah memeluk erat manik mataku yang tersembunyi di balik lensa kacamataku. Tatapannya benar-benar sulit untuk diartikan.

Aku memutuskan pandanganku pada manik mata pekatnya "Berhentilah mencari tau tentangku" kalimat pahit ini meluncur dengan dinginnya dari bibirku. Tanpa ampun.

"Ra..." panggilnya lagi. Sama mesranya seperti dulu. Panggilan yang bernada sama dengan yang selalu dia tujukan padaku di setiap sambungan telfon yang terhubung, di setiap pertemuan-pertemuan kami dulu. 

Aku menghela nafas dan menatap keluar melalui jendela kedai kopi yang ramai itu "Dulu selalu jadi pendongeng paling pilu buatku. Paling sendu" 

"Bertahun-tahun setiap kali malam melarut, aku kerap terbangun. Aku masih ingat bagaimana aku selalu terduduk di tengah heningnya malam, dengan naifnya menyebut namamu ribuan kali. Berharap dulu itu tidak pernah berakhir" sambungku lagi dalam dekapan lekat manik mata gelapnya.

Kemudian untuk beberapa saat kami menciptakan hening diantara kami, sampai akhirnya aku meraih jemarinya yang terkait ke dalam genggamanku "Mungkin kita bukan lagi orang yang sama" kataku pelan. Tapi kemudian aku menarik kalimatku dengan sebuah gelengan pelan "Tidak. Mungkin aku yang bukan lagi orang yang sama seperti dulu" 

Dia menatapku tak percaya. Manik matanya yang menatapku jelas mengecil seiring dengan tatapannya yang berubah sayu. Aku tidak bisa menatapnya seperti itu. Melihatnya terluka bukanlah sesuatu yang aku harapkan "Dulu telah berubah menjadi saat ini. Dan sekarang, tau-tau kita sudah begitu terlambat untuk sesuatu bernama cinta" kata demi kata meluncur dengan gaman dari bibirku. Setiap kata yang meluncur benar-benar membuat perasaanku menjadi campur aduk. Perasaan hangat menyelimuti tubuhku, tapi jelas ada luka yang berusaha aku tutupi disana.

Dia melepaskan pandangannya dariku. Jemarinya yang terkait juga ditariknya kembali kehadapannya, menyisakan jarak di setiap selanya "Bukan ini yang ingin aku dengar, Ra" sahutnya pelan. Pelan sekali hingga nyaris hilang berbaur dengan kehiruk-pikukan yang terjadi sore itu.

Lagi-lagi aku hanya mampu tersenyum kearahnya "Lain kali, bacalah setiap tanda yang tercermin dari orang-orang di sekitarmu. Kelak kau tidak akan terlambat lagi" ucapku mencoba memberi sedikit masukan untuknnya yang tampak begitu mengambang di tempatnya duduk. Pundaknya melorot di sandaran kursi, walau manik matanya masih memagut erat manik mataku. Lalu kami terdiam. Hiruk-pikuk di sekeliling kami seolah tak ada artinya. Kami begitu terhanyut dengan hening yang kami ciptakan sendiri. Kami sama-sama terdiam, saling bertukar pandang dan saling hanyut dalam riak pikiran kami sendiri.

"Mungkin..." ucapku memecah hening "Mungkin kalau kau dulu mampu membaca tanda yang tercermin dariku, kau akan mengerti" sambungku kemudian. Ada rasa perih yang terasa di hatiku saat kalimat itu meluncru pelan dari bibirku. Seolah luka yang sudah nyaris mengering itu tersenggol, menciptakan nyeri.

Dia tidak meresponku, tapi pandangannya sudah tidak lagi terpaut padaku. Pandangannya tertuju pada sesosok orang yang berdiri tidak jauh dari kami, tersenyum dengan hangatnya saat aku bertukar pandang dengannya. Membuatku berdiri dari tempatku dan melambai kearahnya yang sudah berjalan mendekat "Itu dia" ucapku padanya yang menatapku namun seperti tak membutuhkan penjelasan apapun.

"Aku harus balik sekarang" kataku sambil menikmati tegukan terakhir long blackku. Sepertinya bukan hanya efek kafein yang membuat jantungku berdebar hebat. Tapi langkah kaki yang semakin mendekat dan pandangan sosok di hadapanku inilah yang membuat jantungku semakin tidak karuan.

"Hi" sebuah suara yang belakangan hangat di telingaku menyapa ramah.

Sosok di hadapanku melepas pandangannya dariku dan berdiri dari tempatnya "Hi" balasnya "Her bestfriend of life" ucapnya memperkenalkan diri.

Dia tertawa, orang yang sekarang merangkul mesra pundakku itu tertawa hangat "She told me so" ucapnya "Kalo gitu, kenalin..." kalimatnya menggantung, tatapanny beralih padaku. Begitu hangat dan mesra "Her future" sambungnya kemudian sambil mempererat rangkulannya.

Dia -yang sempat mengurai dulu bersamaku- tersenyum. Senyuman yang tidak bisa aku deskripsikan, sekilas dia (lagi-lagi) merangkul erat manik mataku "Don't hurt her" katanya. Ucapan yang lebih terdengar seperti sebuah gumaman. Kemudian dia berjalan kearah kami dan menepuk pundak dia yang di sebelahku dengan hangat "I mean it" bisiknya kemudian. Aku bisa merasakan keseriusan disana. Sesuatu yang jarang sekali aku dengar dulu.

Dia -yang merindukan dulu- menatapku sekilas dan tersenyum "Be happy" ucapnya tanpa suara. Lalu berbalik meninggalkan kami yang mematung di tempat kami berdiri. Rangkulan di pundakku tidak mengendur, jemarinya mulai mengusap ujung pundakku "You'll be. You should" bisiknya lembut.

Aku menatapnya, lalu tersenyum dan mengangguk. Melangkah pergi meninggalkan salah satu kedai kopi favortiku sambil berbisik pada angin "Dulu memang begitu indah dan aku begitu jatuh dengan telak. Tapi sekarang bukanlah dulu, kelak kita akan sama-sama menyambung hidup dengan dulu yang terselip di relung hati....."


-END-

Friday, October 3, 2014

di Batas Senja





      Senja ini masih saja sama seperti senja beberapa tahun lalu saat aku pergi meninggalkan kota tempatku ini. Rona jingga di angkasa masih tetap setia memayungi kota indah bertanah basah ini. Aroma tanah selepas hujan teresap masuk melalui indra penciumanku, membawa sekelebat perasaan aneh yang perlahan menyelip di relung hati tepat saat kedua kakiku menginjakkan kaki kembali disini. Hiruk pikuk bandara pun masih saja tetap sama. Orang yang lalu-lalang, yang sedang menunggu, semuanya memancarkan ekspresi yang berbeda-beda. Beberapa tampak risau menoleh kearah jam yang tergantung diatas pintu kedatangan, beberapa tampak berkutat dengan ponsel, dan banyak yang mengedarkan pandangan sambil mencari-cari yang ditunggu. Yang jelas, raut bahagia banyak terlihat disana. Bukan hanya bahagia, tapi juga raut penuh rindu yang kemudian akan terlepas, berdesak menghambur saat yang ditunggu berdiri tegak dihadapan, mengurai segala bentuk rindu yang tertahan.

Mungkin terminal kedatangan sebuah bandara bisa dinobatkan sebagai salah satu tempat yang membahagiakan. Tempat dimana hati yang penuh rindu bersidekap melepas rindu setelah terpisah jarak dan waktu “Icha…!” sebuah sapaan hangat yang cukup mengagetkan ditengah pikiranku terdengar. Namun tentu saja aku tak perlu bersusah payah untuk mencari asal suara tersebut, karena mata ini seolah dengan mudah menangkap sosok jangkung pemilik suara itu.

Sosok itu kemudian membelah kerumunan didekatnya sambil mengabaikan tatapan orang yang mencuri lirik kearahnya yang tampak tampan sore ini. Kaos putih yang dibalut dengan leather jacket, jeans dan sandal jepit. Pemuda tampan itu bahkan masih tetap sama seperti beberapa tahun lalu.

Mata gelapnya menatapku lurus, seolah ingin merangkul hangat manik mataku. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya aku juga menjadi perhatian beberapa orang, khususnya gerombolan gadis yang berada beberapa meter dari kami. Sosok jangkung itu berdiri dihadapanku, mempersempit jarak yang ada sambil menarik ujung bibirnya dan menyungginggkan sebuah senyuman manis untukku. Ya, untukku. Masih. Masih sama persis. Persis seperti beberapa tahun lalu saat dia melepasku.

      Comment allez vous?” ucapnya menanyakan kabarku dengan bahasa dan logat yang hampir sama dengan logat yang biasa aku dengar ditempatku sebelumnya. Membuatku tertawa kecil dan melayangkan sebuah pukulan kecil ke lengannya yang semakin berotot.


      “Baik…” jawabku pelan. Ada rasa yang aneh menjalar saat senyumnya masih tetap ada untukku. Sesuatu yang dulu juga pernah terjadi saat hangat peluknya melepasku.

      Dia tertawa kecil dan mengacak pelan rambut panjangku yang ku biarkan tergerai ditiup angin negaraku “Padahal aku ngarepnya kamu bakal jawab pake bahasa kamu, minimal bien lah” responnya dengan sangat manis.

      “Ça va très bien” jawabku akhirnya mengatakan bahwa keadaanku benar-benar sedang sangat baik “Et toi?” sambungku kemudian, balas menanyakan kabarnya.

      Dia kembali tersenyum, kali ini tampak sangat puas dan mendaratkan sebuah kecupan di pipiku, sontak semakin menarik perhatian orang di sekeliling kami “Ik mis je” balasnya dalam bahasa yang tentu tidak asing baginya yang keturunan belanda tepat di telingaku. Lalu, tubuh jangkungnya bergerak meraih koperku, mengambil alihnya seraya merangkul tubuh mungilku “Welcome, home” ucapnya sambil menyeretku dan juga koperku, tentunya.

***

      “Cha, kamu gabisa pergi gitu aja. Kamu gabisa ninggalin semuanya kaya gini” suaranya yang rendah dan lirih benar-benar membuatku semakin terpojok, tak bergeming. Tatapan mata teduhnya yang gelap seolah berselimut kabut tebal yang akan siap mendatangkan badai. Manik matanya menatapku tajam, seolah ingin mengulitiku.

      “Lihat aku, Cha. Bilang ke aku kalau semua ini memang keputusan kamu. Bilang ke aku, Cha” sambungnya kemudian. Kalimatnya mengingatkan dengan sinetron kacangan di televisi, namun pikiran itu langsung menghilang saat jemari tangannya yang besar meraih jemari mungilku kedalam genggamannya. Kemudian, untuk beberapa waktu tidak ada yang berbicara. Kami membiarkan kehingar-bingaran coffee shop bandara itu memenuhi apapun yang kosong diantara kami, kecuali sela diantara jemari kami yang masih bertaut seolah tak mampu terlepas.

      “Cha…” panggilnya lagi, kali ini lebih lirih.
      Aku menggigit bibir sambil memberanikan diri untuk mengangkat wajahku yang tetunduk dan menatap wajahnya yang hanya beberapa meter dariku “Za…” balasku lemah.

      “Inilah yang terbaik untuk saat ini” ucapku pelan, memberi jeda untuk mengatur nafasku yang memburu “Kamu sadarkan kalau ini memang sudah seharusnya seperti ini. Keberadaanku di dekat kamu, semuanya itu udah memposisikan kamu di tempat yang ga enak. Hubungan kamu, apa kamu ga sadar? selalu aja berakhir karena aku. Apa kamu ga pernah capek membangun sebuah hubungan dengan susah payah dengan orang yang kamu sayangi, lalu kemudian aku ada ditengah kalian, sebagai sahabat yang...”

      “Yang apa?!” potongnya tidak suka. Jelas sekali terbaca dari raut wajahnya yang mengeras.

      Aku menghela nafas “Reza, aku capek terus di curigai, aku capek terus-terusan disangka perusak hubungan orang, aku udah gabisa lagi” aku berhenti. Kali ini mengatur emosiku agar aku tidak meledak. Setidaknya tidak disini “Terlebih, aku gabisa liat kamu, Za. Aku gabisa liat kamu kaya gini terus” sambungku kemudian di sisa keputus-asaanku.

      Dia menatapku heran sambil melepas genggamannya. Rahangnya yang tegas semakin menampakkan kemarahan yang bercampur kekecewaan, juga kesedihan di wajahnya “Aku kenapa?!” tanyanya dengan nada suara yang naik satu oktaf “Gak ada yang salah denganku, Cha. Aku baik-baik aja, aku…”

      “You ain’t fine, Reza” balasku kemudian nyaris putus asa.

      “I do” sanggahnya lagi dengan kepala kerasnya itu.

      Aku menghela nafas –lagi, “Well, and then let’s say ini adalah salah satu keputusanku untuk mengembangkan diri. Ngejar cita-cita aku, sesuatu yang aku inginkan. Anggap ini hanya perpisahan sementara karena aku harus melakukan sesuatu untuk…”

      Aku tidak menyambung kalimatku, tatapan tajamnya cukup membuatku sadar bahawa orang yang duduk dihadapanku saat ini, my friend of life, tidak merasa nyaman dengan apa yang aku lontarkan. Dia terus menatapku yang lelah dengan kalimatku sendiri sampai akhirnya dia menghela nafas berat dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa merah marun yang kami duduki “Udah?” tanyanya “Udah puas curhatnya? Atau masih ada yang mau di omongin?” kalimat tanya yang begitu dingin itu meluncur dengan lancar dari bibirnya, membuatku bergidik dan terdiam mematung ditempat.

      Keheningan diantara kami kembali tercipta, kali ini sungguh jelas terasa begitu menyesakkanku yang sudah terpojok, terdiam ditempatku. Pandangannya memang terpaku entah pada apa, terlihat dari wajahnya yang sudah berpaling dariku. Membuatku terus menerka ekspresi apa yang sedang ditunjukkannya. Yang jelas, binar mata yang biasanya teduh dan mampu menenangkanku itu telah berganti menjadi sesuatu yang tidak pernah ku lihat sebelumnya. Berganti dengan kekalutan serupa badai yang takkan mampu ku urai.

      Detik hingga menit pun aku telan pahit dalam keheningan hingga sosok dihadapanku itu berdiri dari tempatnya dan membuatku bingung. Namun semua terpahamkan saat dia berdiri tepat disampingku sembari meretas jarak yang kami ciptakan, membuatku memiringkan dudukku menghadapnya. Benar saja. Binar mata teduh yang dulu senang ku selami itu sudah berganti dengan kekalutan yang tak ku pahami. Sesuatu yang tidak pernah ku lihat sebelumnya, sesuatu yang teramat sangat asing bagiku yang sudah mengenalnya sejak putih biru. Manik mata gelap itu senantiasa mengerling jahil, dulu. Tidak pernah seperti ini, berkilat marah namun tampak redup. Entah apa yang benar-benar salah dari kepindahanku menuju Negara impianku sejak dulu. Yang jelas, keputusanku untuk terbang ke Vancouver dan menetapi kota indah di British Colombia itu sembari mengambil master dalam bidang art dan design di Emily carr sudah bulat karena dalam beberapa jam ke depan, aku akan ada di dalam pesawat yang akan menerbangkanku kesana. Hanya tinggal menunggu dan aku tidak akan mundur.

      Reza berdeham, membuatku mau tak mau menatapnya “Kalau semua yang kamu rasakan benar seperti itu, kenapa kita tidak menutup diri saja bagi orang lain?” tanyanya membuatku terbelalak “Hanya kita. Kamu, juga aku. Jadi…” Reza hendak menyambung kalimatnya saat aku menyentuh lengannya pelan. 

      “Reza…” bisikku.

     Aku memberanikan diri menatap kekalutan dimatanya sambil mencoba membacanya. Dan yang ku temukan disana adalah sebuah kesungguhan tanpa sedikitpun rasa gamang dalam dirinya. Dia bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya. Hanya kita. Kamu, juga aku.

      Reza menghela nafas, bersamaan denganku yang berusaha menghilangkan fikiran-fikiran aneh dan mengabaikan perasaan yang tidak kalah anehnya dalam pikiranku. Otakku jelas sudah mampu membaca kemana arah pembicaraan kami, hanya saja aku terlalu takut untuk yakin bahwa itulah yang sebenarnya terjadi. Aku takut bahwa selama ini aku sebenarnya tidak sendiri. Rasa itu. Ya, rasa yang pernah ku pendam, sesuatu yang ku pelihara sendiri. Sesuatu yang pernah, atau mungkin yang masih tetap ada disana. Entahlah.

      Belum sempat terurai yang lainnya dari kami, Reza sudah menarikku dari tempat dudukku di tegah hingar-bingar coffee shop itu. Membiarkan pikiranku terus menerka-nerka selama dia menyeretku entah kemana. Hingga aku sadar aku sudah berdiri disalah satu sudut bandara yang jauh dari keramaian. Debaran jantungku seolah tak lagi mampu ku bendung saat aku tersandar di sebuah dinding sudut terminal yang benar-benar jauh dari keramaian. Matanya menatap sendu padaku yang hanya mampu menatap balik takut-takut “Aku gatau apa yang ada di fikiran kamu sekarang” ucap Reza lirih. Dengan berbisik lebih tepatnya, karena saat ini tubuhnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari tubuhku. Dan wajahnya?

      “Hmph…” bibirku yang semula ku gigit sendiri kini telah dilumat oleh sosok jangkung yang menutupi tubuhku dari pandangan orang yang mungkin akan lalu lalang. Tangannya memgang tengkukku lembut sambil terus mencoba melepas segenap perasaannya.

      Aku hanya terdiam, mencoba mencerna dan tidak membalas sedikitpun. Aku jelas terkejut, tapi tidak juga, karena ini bukan kali pertama buatku. Hanya saja, saat aku memejamkan kedua mataku untuk merasakan rasa yang sesungguhnya, aku sadar bahwa orang yang sedang menciumku adalah Reza. Reza sahabatku yang tidak akan mungkin tergantikan. Dan aku jelas tidak bisa terus membiarkan hal ini berlanjut, karena sahabat adalah sahabat dan…

      “Icha…” ucapnya terkejut saat dengan spontan aku menolak tubuhnya dari hadapanku.

      Aku melihat sekilas kearahnya lalu mengalihkan pandangan pada jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tanganku “Sebentar lagi aku berangkat” ucapku gugup ditengah perasaan hangat yang masih meyelimuti tubuhku.

      Reza kemudian seperti menghela nafas cepat sebelum akhirnya mengacak rambutnya frustasi. Dan detik berikutnya, dia menatapku tanpa berbicara sepatah katapun, seolah apa yang baru saja terjadi tidaklah ada artinya. Ciuman itu, perasaan yang menguar, atmosfir yang mengungkung kami, tatapan mata yang saling bertukar, sentuhan itu, semuanya seperti hilang begitu saja berganti kecanggungan yang begitu dingin.

      Beruntunglah dengan segera Reza menarik tanganku, merangkulku, lalu beranjak menunggu ruang tunggu bandara. Langkah demi langkah kami jalani dalam diam, sibuk dengan pikiran kami sendiri. Perasaanku sungguh tidak karuan saat Reza bersikap seolah tidak ada yang baru saja terjadi diantara kami. Sungguh bukan perpisahan seperti ini yang aku harapkan “Sebentar lagi kamu berangkat” katanya gamang, seperti sebuah peringatan untuk dirinya sendiri.

      Aku mematung dengan gaung suaranya di otakku. Pandanganku tertuju pada sign diatas kepalaku yang bertuliskan waiting room dengan gate menuju kehidupan lain yang sudah menungguku beberapa meter di depan. Aku kemudian kembali menatap Reza yang tidak melepas pandangannya dariku sambil mengangguk kecil. Tatapannya itu begitu sulit untuk ku jelaskan. Tidak ada badai disana, hanya saja mata gelap yang selalu mampu menghanyutkanku itu menyiratkan apa yang tidak pernah dan tidak ingin ku lihat. Sebuah luka yang begitu mendalam, mungkin.

      “Aku pergi ya…” kataku pelan. Suaraku sendiri bahkan nyaris hilang ditengah ramainya suara lain yang ada disekeliling kami.

      Reza hanya mampu tetap ada dalam posisinya tadi sambil menatapku, tak bergeming. Seolah sosok yang berdiri menjulang dihadapanku itu tidak lagi memiliki kekuatan bahkan hanya untuk melepasku dengan sebuah senyuman. Dan mau tidak mau, aku berbalik. Meninggalkannya dibelakangku yang –mungkin- masih terus menatapku.

      “Tarissa!” serunya.

      Langkahku tertahan saat aku merasakan tangannya menahan lenganku hingga dengan sekali gerakan tubuhku berbalik kearahnya. Kembali kami terdiam, saling bertukar pandang hingga akhirnya sebuah usapan halus di punggung tanganku meruntuhkan pertahananku, membuatku langsung menghambur ke pelukannya tanpa babibu “Don’t make it hard for me, Za…” rengekku dalam pelukannya.

      Reza tidak menyahut, tapi aku bisa dengan jelas merasakan bahwa pelukannya semakin erat, diikuti dengan usapan di punggung dan sebuah kecupan di pucuk kepalaku “No. I won’t. I won’t make it hard, Cha” bisiknya di telingaku yang kemudian disudahi dengan sebuah kecupan hangat di pipiku.

      Aku masih berdiam saat tangannya memegang wajahku, membuatku menatapnya lurus tepat ke manik matanya yang indah “Kembali lagi ya. Aku bakal nungguin kamu disini” katanya “Setahun, dua tahun, berapa pun, just lemme know when you’ll come back. I’ll come, waiting you to stare at me this way” sambungnya lagi dengan sangat manis. Sesuatu yang membuat jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya, memompa rasa hangat ke seluruh tubuhku.

      Aku tersenyum kecil “Tapi ini terminal keberangkatan, Za…” balasku yang langsung disambutnya dengan gelengan kecil putus asa disela tawa yang mengembang “I know” potongku sebelum Reza melancarkan kalimatnya “4 tahun” bisikku.

      Reza mengangguk mengerti sambil lagi-lagi memelukku erat seolah tak ingin melepaskan “Have a safe flight,…” katanya pelan, namun terasa mengambang karena sepertinya, “sayang” sambungnya kemudian sambil melepasku dari pelukannya dan mendaratkan kecupan kecil di bibirku yang mengering mendengar panggilannya.

      Aku memberi hening diantara kami, hingga akhirnya aku memantapkan hati dan pilihanku sambil mengembangkan sebuah senyum getir “Sekali sahabat, akan terus menjadi sahabat” seruku cepat. Kemudian aku langsung berbalik dan menyongsong hidup baru dihadapanku. Vancouver yang indah sudah menungguku dengan lembar demi lembar cerita yang akan kurangkai disana. Dan disinilah aku memantapkan diri berjalan menuju ruang tunggu berteman jingga di angkasa yang memayungi kota indah bertanah basah ini. Dimana aroma tanah selepas hujan teresap masuk melalui indra penciumanku, membawa perasaan aneh yang menyelip di relung hati.

***

      “By the way, ini belum 4 tahun kan?” tanya Reza saat kami sudah duduk di dalam mobil miliknya yang membelah jalanan kota di batas senja.

      Aku menggeleng “Kamu sih, kebelet nikah banget. Kan aku jadi harus buru-buru nyelesain yang disana” jawabku sambil menatap sosok dibalik kemudi yang begitu ku rindukan itu “Lagian, aku gamau ketinggalan perhelatan akbar sahabatku sendiri” sambungku lagi sambil pura-pura sebal pada Reza yang tertawa-tawa sambil mengacak rambutku –persis seperti beberapa tahun lalu- dengan tangannya yang bebas.

      “Kamu ini” sahutnya.

“Aku kan udah bilang, kalau belum kelar urusannya dan ga keburu, kamu bisa dateng kok di acara bulan madunya” Reza melirik kearahku yang masih menatapnya sebal sambil membenarkan rambutku yang diacaknya “Ara mau kok bulan madu ke Vancouver. Dia ngikut aja” tambahnya lagi sambil tersenyum usil.

Aku mendecak sambil melipat kedua tanganku di depan dada “Udah tanya Ara belum apa masih tetep mau kalo aku gabung di acara bulan madunya?” tanyaku sambil mencondongkan wajahku kearahnya yang langsung di tepisnya dengan telapak tangan dan sebuah tawa yang meledak.

“Paraaah” serunya sambil terus mengurai tawa yang entah kenapa malah membuatku harus menelan pahit yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhku. Entah rasa apa sebenarnya ini, hanya saja, tawa Reza yang duduk dibalik kemudi seolah bergema dalam otakku dan membuat perasaanku kembali kacau seketika. Sesuatu yang aneh dan sangat tidak aku harapkan.

Aku mencoba tersenyum saat Reza menatap kearahku yang hanya mampu terpaku menatap jalanan di hadapanku. Aku bisa melihat sahabatku itu menghela nafas lalu menepikan mobilnya dan membuatku menegang di tempatku. Sementara jantungku berdebar lebih kencang, Reza memiringkan duduknya menghadapku. Menatapku, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan matanya kembali menyelimutiku dengan hangat. Ini sungguh tidak benar.

I know” sanggah Reza saat aku ingin meberkelit mengatakan bahwa tidak ada yang salah. Tangannya meraih jemariku yang mengetuk lututku sendiri dengan gugupnya “Tarissa…” panggilnya lembut, selembut tatapan matanya yang terkunci padaku “There’s nothing worse than this, actually. Kita kembali disini, berpelukan, melepas rindu, bercanda, mengurai tawa, seolah semua baik-baik saja, padahal…”

It’s the right thing” potongku lirih. Berusaha keras agar suaraku keluar dari tenggorokanku yang mengering.

Reza kembali menghela nafas “It is” jawab Reza sama lirihnya. Aku yang keras kepala mungkin sudah membuatnya putus asa dengan segala kebohonganku tentang rasa yang kurasakan dengan begitu jelas “Mungkin memang cuma aku yang masih merasakan hal bodoh itu” sambungnya lagi sambil meluruskan duduknya dan menciptakan sebuah jarak dingin diantara kami yang langsung membuatku memaki diriku sendiri.

Ara is the one that you’re looking for” bisikku sambil meraih tangannya kedalam genggamanku.

Dia menatapku lekat-lekat “But, you’re the one that I need the most” ucapnya sambil mendekatkan wajahnya padaku yang mundur dan berusaha menghindari sesuatu yang mungkin saja akan terjadi ditengah kegamangan kami akan rasa yang kembali menguar ke permukaan.

That’s what friends are for” kataku sambil membuang pandanganku ke pinggiran jalan disampingku, muak dengan kalimatku sendiri.

Reza kembali ke posisinya semula dengan sorot mata yang entah bagaimana, yang jelas dua kata yang meluncur dari bibirnya membuatku harus kembali mengecap getir yang ku ciptakan sendiri “Jadi berbahagialah” bisiknya lirih sambil kembali memegang kemudi dan menjalankan mobilnya kembali memecah jalanan yang semakin ramai setelah berhasil mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku.

Dan selama sisa perjalanan di batas senja, aku hanya mampu terdiam menikmati jingga yang disuguhkan, sembari melingkarkan tanganku di lengannya dan menyandarkan kepala di pundaknya sambil berjanji bahwa aku akan berbahagia dengan keputusanku karena hidup sudah tak lagi memberikan pilihan.



***END***

Sunday, January 12, 2014

Why English?

Keep Calm and Speak English!

Why English? Why oh tell me why~
hahaha...

mungkin kalian -termasuk saya- pernah bertanya-tanya kenapa kita harus belajar bahasa Inggris. kenapa kita harus susah-susah hafalin kosakata yang kita sendiri terkadang susah buat ngucapinnya. kenapa juga kita harus bingung sama pola kalimat yang harus berbeda setiap kita nyebutin kejadian yang sedang berlangsung, sudah berlangsung dan akan berlangsung.
tapi gimanapun juga, bahasa Inggris adalah bahasa yang harus, kudu, mesti kita pelajari dewasa ini. kita bisa aja bilang "aku ga suka bahasa Inggris", atau mungkin "saya gamau kerja di bidang bahasa. apalagi bahasa Inggris", bisa juga kita bilang "kegiatan saya gaada hubungannya sama perbahasa Inggrisan kok" banyak. banyak alasan yang bisa kita buat hanya untuk mengelak belajar bahasa Inggris. padahal, sebenarnya banyak manfaat yang bisa kita dapat dari belajar bahasa Inggris.

well, English may not be the most spoken language  in the world, but it's the official language in a large number of countries. mungkin emang ga semua negara make bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar diantara mereka, tapi gimana pun juga bahasa Inggris adalah bahasa Internasional, which means bahasa yang menyatukan kita di dunia yang fana ini.
hal lain yang harus jadi bahan renungan kita tentang bahasa Inggris ini adalah bahasa Inggris merupakan suatu kebutuhan di zaman modern ini. dan jika alasan singkat ini tidak bisa membuat kalian berfikir lebih lagi, saya akan coba paparkan beberapa keuntungan dalam belajar bahasa Inggris -tentunya setelah saya juga mempelajari bahasa ini secara serius-.

pertama...
kita jadi bisa berkomunikasi dengan ratusan juta umat di dunia!
berdasarkan fakta -yang pernah saya baca- bahasa Inggris itu adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh lebih kurang 400 juta orang di dunia. 400 -empat ratus- juta orang. bisa bayangkan betapa bangganya kalau kita bisa berkomunikasi dengan seperempat saja dari mereka? tidak perlu lancar, yang terpenting mereka mengerti apa yang anda bicarakan, begitu pula sebaliknya.
dan sebagai tambahan, bahasa ini juga menjadi bahasa utama di 53 negara dan menjadi bahasa resmi di pertemuan tingkat tinggi manapun.

kedua...
mendapatkan lebih banyak teman!
jika kita mampu berbahasa Inggris, maka kita dapat berbicara dengan lebih dari 1.5 miliar orang diseluruh dunia. bukan jumlah yang sedikit kan? dan dengan bahasa Inggris, kalian bisa chatting secara online, bertukar kartu pos, saling mengirim surat dan berkeliling dunia hanya dengan satu bahasa. bahasa Inggris!

ketiga...
membuka jendela dunia!
klise sih kedengarannya, tapi dengan bahasa Inggris kita bisa membuka jendela dunia lebih lebar. karena apa? karena ada banyak buku, majalah, koran, dan artikel yang hanya tersedia dalam bahasa Inggris. bahkan ada banyak buku berbahasa asing yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris. dan jika kita mampu berbahasa Inggris, tentu pilihan bahan bacaan kita menjadi semakin beragam. hal ini juga berlaku untuk film.

masih kurang tergugah untuk terus atau mulai belajar bahasa Inggris? masih merasa enggan untuk belajar bahasa Inggris? baiklah, saya masih punya banyak alasan lain lagi untuk belajar bahasa Inggris.

keempat...
mendapatkan beasiswa dan bersekolah di luar negeri!
i have no idea. i really want it so bad. dan salah satu alasan terkuat saya belajar bahasa Inggris adalah ini.

kelima...
menaklukkan internet!
kalian mungkin berfikir kalau banyak situs yang diterjemahkan dalam bahasa ibu kita -bahasa Indonesia-, tapi nyatanya 80% informasi elektronik hanya tersedia dalam bahasa Inggris. sementara 20% lainnya tidak hanya didominasi bahasa kita, tapi juga bahasa asing lain seperti China, Jepang, Prancis dan sebagainya. 

So...? masih kurang juga?
fine...

keenam...
menjadi ilmuwan!
ga berniat jadi ilmuwan? baiklah...

ketujuh...
mengejar kesempatan kerja di luar negeri!
ga berniat juga kerja di luar negeri? oke..

kedelapan...
mempercepat kemajuan karir!
nah, gaada kan yang ga mau berkarir?
kebanyakan bisnis internasional dilakukan dalam bahasa Inggris, menggunakan bahasa Inggris. dan jika kalian berniat untuk mendapatkan posisi managerial disebuah perusahaan multinasional, kemungkinan besar anda pasti akan dituntut untuk berbahasa Inggris. dan tentu juga dengan memaparkan hasil nilai IELTS atau TOEFL kalian. 
"saya tidak tertarik dunia bisnis kok, jadi gak harus belajar bahasa Inggris, kan?" SALAH!
bukan cuma dunia bisnis. pendidikan, teknologi, penerbangan, pariwisata, hukum, diplomatik, kesehatan, semua butuh bahasa Inggris.

jadi? apa masih menolak belajar bahasa Inggris saat bahasa Inggris is a global 'Lingua Franca? merasa terlalu tua untuk memulai? tidak ada kata terlambat untuk belajar dan untuk ilmu pengetahuan kan?
mungkin kalian memang memiliki berbagai alasan untuk tidak meningkatkan atau bahkan tidak belajar bahasa Inggris sama sekali. kalian mungkin terlalu sibuk, bahasa Inggris terlalu sulit, atau tidak butuh kemampuan berbahasa Inggris, dan lain-lain. tapi ketahuilah bahwa kalian salah.


this is why i learn English:
1. i love English
2. i feel awesome to talk in English
3. i wanna be able to understand English movies and television programmes
4. i wanna read English books with ease
5. i wanna study on foreign country if i have a chance
6. i wanna be an exchange students
7. i wanna make friends with people from other countries
8. i wanna get job with good salaries and good working conditions
9. i wanna be able to communicate freely with foreign people
10. i wanna learn a lot about the lifesytles in foreign country
11. i wanna work for international organization
the last and the weirdest one is...
12. i wanna get married with foreign people (wink)

Monday, September 30, 2013

Senja




Senja ini aku mampu menuliskan larik-larik paling perih. Menuliskan, bagaimana langit runtuh dan jingga gemetar di ujung sana. Aku mencintainya sesekali, dan dia pun seperti mencintaiku. Dan kala senja seperti ini, mestinya aku mampu merengkuhnya di bawah jingga tanpa tepi.

Bagaimana mungkin aku tak terhanyut dalam tenang matanya, tapi aku sanggup menulis larik-larik puisi ini karena di kepala, dia tak lagi ku capai, di dada, dia tak lagi ku gapai. Dan senja ini, puisi menetas di dada seperti embun yang menetes di rerumputan.

Tak mengapa jika cinta tak bisa disini menahan dan menjaga. Sebab seingin apapun aku agar dia ada disini, tetap saja tatapku tak sanggup walau hati ini terus mencari.

Pepohonan berubah putih dan patah senja ini juga. Kami yang dulu sempat bersama, kini jatuh sendiri-sendiri.

Aku memang tak lagi mencintainya, sungguh. Cinta itu sungguh ringkas, namun melupakannya butuh waktu. Karena setiap senja seperti ini, sakit itu kerap terasa. Jiwaku amat mati.

Tapi sakit ini adalah sakit terakhirku karenamu, dan ini puisi terakhirku yang ku tuliskan tentangmu. Kau, sebuah nyanyian yang selalu dilagukan sepi. Kau, jantung yang mendenyutkan arti dari sekumpulan aksara mati. 

Tuesday, May 21, 2013

Un Soir de Paris



Senja itu,  matahari tua beradu dengan mega melahirkan kilau jingganya dari balik jendela coffee shop di kawasan Champs-Élysées, Paris. La plus belle avenue de monde memang benar-benar pantas untuk menggambarkan keindahan jalanan di Paris yang begitu terkenal itu. Orang-orang yang lalu lalang dalam diam, pasangan yang mengumbar mesranya, juga beberapa orang yang tampak terpukau dengan real estate termahal kedua di dunia setelah Fifth Avenue di New York itu memberikan sedikit hiburan bagi sepasang mata yang menerawang dari balik jendela.

“Le ciel est trés nuageux” sebuah suara yang terdengar begitu familiar mengagetkan pemilik mata yang sedari tadi mendaratkan pandangannya pada orang yang lalu-lalang mengitari Champs-Élysées. Membuatnya menoleh dan tersenyum pada gadis berambut terkucir yang melepas celemek dari tubuhnya.

“Mendung banget sih, ada apa?” tanyanya lagi setelah menarik kursi dihadapannya dan menghempaskan tubuhnya disana.

“Il va  faire de l’orage” jawab pemilik sepasang mata itu sambil mengetukkan jarinya diatas meja coffee shop milik gadis  dihadapannya itu.

“Badai apa? Kamu ini mengada-ada aja” gadis itu menggeleng, membuat rambutnya yang terkucir bergoyang ke kanan dan ke kiri.

“J’ai soif. Vous désirez? Chocolat chaud?” tanya gadis itu dengan mimik gerah sambil memanggil salah seorang pelayannya, memesan minuman.

“Oui. Volontiers” pemuda itu mengiyakan tawaran gadis itu untuk memesan coklat hangat sambil menarik sudut bibirnya, melengkungkan sebuah senyuman.

Setelah gadis itu menyebutkan pesanan coklat panas mereka kepada pelayan yang datang dengan tergopoh-gopoh kearah mereka, tidak ada lagi yang bersuara. Mereka berdua terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, membiarkan keheningan memenjarai mereka diantara pelanggan coffee shop yang juga sepertinya enggan untuk membuat ricuh suasana.

“Aujourd’hui , je déjeune avec un collégue” kalimat itu meluncur dari bibir si pemilik sepasang mata yang sedari tadi masih menatap berkeliling dan semakin tampak gelisah.

“Sounds great. Makan siang sama mereka dimana?” balas gadis dihadapannya itu dengan senyum yang masih terus mengembang walau dia sadar ada yang tidak beres dengan pria dihadapannya itu.

“Chez Plumeau, Montmartre. Merci” ucapnya singkat sambil berterimakasih kepada pelayan yang menghantarkan coklat panas untuk mereka.

Good place. Aku juga pernah kesana beberapa kali sama temen” respon gadis itu sambil langsung menyeruput coklat panas yang baru saja disajikan dihadapannya. Coklat panas di coffee shop miliknya ini memang terkenal kelezatannya, hingga dirinya sendiri pun nyaris tidak bisa mengabaikannya.

Pria itu hanya tersenyum sambil menatap gadis dihadapannya itu. Gadis yang tenggelam dengan kenikmatan coklat hangat di senja yang cukup dingin di kota teromantis di dunia. Mata gelapnya meneliti setiap inci wajah gadis dihadapannya itu, membiarkan tubuhnya menghangat dengan sendirinya.

“Repose-toi bien” ucap gadis itu mengagetkan pria yang masih mengaitkan matanya pada wajah dihadapannya dan membuatnya sedikit tersentak.

“Huh?” pemuda itu mengernyit heran sekaligus terkejut.

“Istirahatlah, kamu butuh istirahat. You look so worse lately” gadis itu tersenyum sambil kembali menyeruput coklat hangatnya. Tidak bisa dipungkiri, masih ada kecanggungan yang merajainya saat membicarakan hal yang cukup personal dengan pria di hadapannya itu.

Pria itu tertawa kecil “Vous avez raison. Partner kerja aku juga bilang begitu” jawabnya sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas ucapan gadis dihadapannya.

Gadis itu hanya tersenyum sambil menghela nafas kecil. Perasaannya kembali bergejolak, membuatnya ragu akan apa yang dia rasakan. Semua terjadi begitu cepat setelah apa yang terjadi diantara mereka berakhir dengan sangat tragis. Cinta yang pernah mereka miliki akhirnya harus mereka putus, harus mereka kubur dalam-dalam sebelum sempat saling menyapa. Dan tidak ada yang patut disalahkan. Tidak keduanya, tidak juga waktu, apalagi keadaan. Takdirlah yang telah menuntun mereka ke jalan yang mereka tapaki sekarang. Dan di kota teromantis sedunia itu, semua berakhir sekaligus bermula.

“Tu me manques...”

“Ryan...”

“Ma chérie...” sebuah suara rendah mengagetkan Ryan dan Mia yang nyaris akan tenggelam dalam percakapan penuh emosi.

“Hey, mon amour...” Mia menyahut dengan nada suara yang sedikit meninggi seolah ingin menegaskan pada Ryan tentang statusnya dengan sang pemilik suara rendah yang dengan seketika membuyarkan semua skenario yang telah tersusun matang dikepala Ryan.

Don’t you have any course this evening?” Mia yang jemarinya telah di genggam pemuda dihadapannya itu bertanya lembut tanpa memperdulikan Ryan yang menatap mereka dalam diam, berusaha meredam sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Dan dari sara Mia menatap pemuda itu, cara Mia membenarkan jaket pemuda itu, semuanya benar-benar membuat Ryan harus menelan kembali semua yang akan diucapkan.

 Je peux résister à tout, sauf à toi. I want to meet you first before i take the French course. Lack of spirit lately” ucap pemuda tampan itu dengan aksen British yang begitu kental. Mata hijaunya mengerjap nakal kearah Mia yang menatap balik pemuda itu dengan sangat lembut.

“Hahaha...” Mia hanya tertawa renyah sampai matanya menangkap sosok Ryan yang menggeser duduknya sambil berdeham kecil sebelum menyeruput coklat panas yang dipesankan Mia.

“Ah, mon amour it’s Ryan, my mate. He’s also from Indonesia” Mia mengenalkan Ryan yang langsung menyambut uluran tangan pemuda dihadapannya itu dengan canggung.

“Peter...” pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan suara rendah yang terdengar begitu khas dan tentu saja pelafalan yang terdengar begitu British.

“Ryan...” balas Ryan sekenanya dan kembali pada posisi duduknya sambil terus meredam perasaan kesal pada dirinya sendiri.

Well, as you know i’ve a class then now i’ve to go. Wait me okay, i’ll pick you up after the course. Okay?” Peter berucap sambil mengusap pucuk kepala Mia yang tersenyum manis sambil terus menatap Peter penuh cinta.

Mia tidak menyahut, namun gadis itu mengagguk sambil mengelus lengan kokoh milik Peter yang langsung mendaratkan sebuah kecupan dibibir tipis milik Mia “Chocolat chaud?” tanyanya usil saat mendapati sisa-sisa coklat panas dari bibir Mia yang langsung membuat Mia mengangguk disela tawa kecilnya.

“Semangat!” Mia membisikkan kata dalam bahasa Indonesia saat tubuh kecilnya di peluk oleh tubuh jangkung Peter.

“Terimakasih” balas Peter dengan logat anehnya.

“Tu es toujours dans mon coeur. Forever” ucap Peter sambil lagi-lagi mendaratkan kecupannya. Membuat semburat merah di pipi Mia semakin terlihat jelas dari sudut mata Ryan yang sedari tadi memperhatikan mereka.

Enchanté, Ryan. À plus tard” Peter berpamitan pada Ryan yang hanya menyahut dengan sebuah senyuman kecil yang terlihat begitu dipaksakan dan anggukan enteng dari tempat duduknya.

“Votre petit ami? pacar kamu?” cecar Ryan sesaat setelah Mia kembali duduk dihadapannya dengan rona merah jambu di pipi dan senyum tertahannya yang masih bisa dilihat Ryan dengan sangat jelas.

Mia menghela nafas sambil mengangguk, menyeruput coklat panasnya lagi dalam diam, membiarkan Ryan berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Entah kenapa Mia begitu yakin Ryan akan menyatakan sesuatu tentang rasanya, perasaannya atas Mia. Hanya saja tidak ada lagi yang mampu Mia lakukan. Hatinya telah dimiliki oleh Peter. Nyaris seutuhnya dan nyaris menghapus nama Ryan yang sempat terpatri di sudut terindah hati Mia.

“Quelle chance. Beruntung...” gumam Ryan sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang didudukinya. Matanya kembali menatap orang-orang yag berlalu lalang di sepanjang Champs-Élysées. Dan matahari semakin lama semakin condong ke barat, menghasilkan semburat jingga yang seolah mampu menggambarkan perasaan Ryan yang begitu jingga. Cerah, berwarna, namun memiliki sisi gelapnya.

“Pardon...” Mia berseru sambil menjauhkan bibir cangkir dari bibirnya.

Hening yang tercipta untuk beberapa saat sampai akhirnya Ryan memecah keheningan itu dengan sebuah pertanyaan yang lagi-lagi membuat Mia mengernyit heran “kenapa...?”

“Kenapa? Je ne comprends pas. Kamu ngomongin apa sih?” Mia balas bertanya pada Ryan yang masih tidak melepaskan matanya dari jendela coffee shop yang mulai semakin ramai itu.

“Vous comprenez bien... kamu pasti ngerti maksud aku” ucap Ryan yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Mia.

“Aku bener-bener ga ngerti” tambah Mia saat Ryan masih enggan berbicara lebih banyak tentang maksud perkataannya, atau lebih tepatnya pertanyannya.

“Aku ga pernah peduli sejauh apa jarak yang memisahkan kita. Aku juga ga pernah peduli setebal apa rindu yang udah nyelimutin aku. Aku...”

“Ryan...” Mia memotong ucapan Ryan dengan suara yang tercekat. Tubuhnya seketika menegang setiap mendengar kata demi kata yang terucap dari bibir Ryan.

Ryan mengalihkan pandangannya dari jendela dan memandang wajah manis milik Mia. Wajah Asianya yang memabukkan terlihat begitu kontras dengan orang-orang disekeliling mereka saat itu, membuat setiap mata pasti akan menoleh dua kali untuk melihat keindahan yang dimilikinya. Kulit coklatnya terlihat begitu sehat sekaligus eksotis berpadu dengan rambut hitam gelapnya yang nyaris selalu terkuncir. Mata besar milik Mia juga selalu membuat gadis itu terlihat seperti terus bersemangat.

Mia merasa risih saat Ryan terus menatapnya nyaris tak berkedip, membuat perasaannya kembali tergelitik mendapati pandangan Ryan yang cukup dirindukannya setelah Ryan pergi untuk menyelesaikan S1nya di Indonesia sesuai keinginan ibunya. Meninggalkan Mia yang memang sudah menetap di Paris lebih dari 15 tahun.

“Mia...” Ryan mendekat dan meraih kedua tangan Mia kedalam genggamannya. Membuat Mia bungkam dan hanya mampu menatap Ryan dan segala tingkah polah bodoh yang dilakukannya.

“Je suis amoureux de toi...” ucap Ryan dengan pandangan mata yang menatap lurus kearah Mia sambil berusaha meyakinkan Mia atas ucapannya.

Mia terdiam untuk beberapa detik sebelum akhirnya sebuah tawa renyah yang kaku terdengar dari bibirnya “Vous plaisantez!” Mia tidak percaya dan dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Ryan dan mengatur debaran jantungnya yang menjadi.

Ryan menggeleng “Je t’aime parce qu’il y a dans ton coeur je trouve un grand amour pour moi” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. Ya, Ryan mencintai Mia karena Ryan selalu merasa Mia memiliki cina yang besar untuknya. Selalu.

“Non...” kali ini suara Mia terdengar bergetar. Ada hantaman yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Ada perasaan campur aduk yang menggerayanginya saat mendengar setiap kalimat yang diucapkan Ryan padanya. Ada cinta disana, ada kesungguhan dan ada kepastian. Ya, kepastian. Kepastian yang selalu Mia tunggu. Bertahun-tahun.

Toi et moi, ça ne changera pas” sambung Ryan lagi saat melihat sesuatu mengusik Mia. Namun Mia masih menggeleng lemah, berusaha meredam sesak di dadanya sambil terus meremas ujung bajunya. Semua tidak akan menjadi serumit ini kalau saja...

“Menapaki jalan rindu itu ga gampang kan? Kamu tau benar hal itu. Ada kabut, ada airmata, ada perih, tapi dibalik itu semua ada cinta. Dan kamu tau, dihatimu selalu ada aku yang akan memelukmu. Iya kan?” Ryan lagi-lagi mencoba meruntuhkan pertahanan Mia. Mencoba meyakinkan Mia dengan cintanya walau dia tau Mia sudah jatuh cukup jauh kedalam kelembutan dan segala yang diberikan lelaki British yang dikenalkan Mia dengan senyum sumringahnya beberapa waktu lalu. Lelaki yang pastinya mengisi hari-hari Mia saat Ryan kembali ke tanah air untuk menimba ilmu.

“Que c'est drôle...” Mia berujar dengan sinis.

“Kamu itu lucu ya. Kamu itu ngebawa terang buat aku, ngebawain tenang. Dan kamu datang, terus kamu ngilang gitu aja, sekarang kamu balik dan...dan kamu omongin hal ini kaya ga punya beban apapun” Mia berusaha sekuat tenaga untuk terus menyambung setiap kata yang terdengar bergetar dan semakin bergetar. Ryan benar-benar mempermainkan perasaannya.

“Mia, please... i know that...”

No. You know nothing. Kamu ga tau seberapa susahnya aku disini saat kamu ga ngabarin aku, saat kamu ga bales semua e-mail aku, saat kamu pergi seolah-olah kamu ga ninggalin siapapun disini. Très désagréable!”

“Aku...Aku mau konsentrasi sama...”

“Apa? Kamu mau bilang kalau kamu mau konsentrasi sama kuliah kamu?” Mia menyahut dengan sangat sinis. Dagunya terangkat dan jelas sekali gadis itu begitu terluka. Terluka oleh cinta lamanya.

“Mia don’t make it hard for me...”

You always do that. You get me into trouble, everytime. Aku terus menerka-nerka gimana perasaan kamu ke aku. Kamu selalu suruh aku nebak kamu, mikir, berspekulasi sendiri dan...”

“Apa itu semua ga cukup, Mi? Apa semua kebersamaan kita ga bisa nunjukin bahwa kita itu punya sesuatu untuk dipertahankan?” Ryan menyahut sambil berusaha untuk menahan desibel suaranya agar tidak meledak-ledak.  Ryan sadar Mia terluka, terluka karenanya. Dan mendapati Mia dengan suaranya yang tercekat sekaligus bergetar, Ryan benar-benar nyaris gila.

Mia menggeleng lemah sambil tertawa getir “Aku bukan dukun. Aku cuma cewek biasa yang butuh kepastian, Yan. Mana aku tau kamu suka sama aku kalau kamu ga pernah bilang apapun” papar Mia getir.

Ryan menghela nafas “Aku kira kamu cukup dewasa untuk paham bahwa gak semua hubungan butuh label”

Mia mendengus mendengar ucapan Ryan yang seolah memojokkannya “Tu ne sais vraiment pas quoi que ce soit. Kamu ga tau apa-apa. Pengorbanan cinta itu persis pelangi. Arc-en-ciel. Akan ada bahagia setelah kesukaran. And i got my rainbow...” Mia menggantungkan kalimatnya sambil mencoba membaca ekspresi Ryan sebelum akhirnya menyebutkan sebuah nama “Peter...”

Ryan menarik tangan Mia saat gadis itu hendak beranjak dari tempatnya dengan mata berkaca-kaca. Sumpah mati Ryan tidak akan kuat melihat Mia seperti itu, tapi dia merasa pembicaraan mereka tidak bisa selesai begitu saja. Setidaknya Mia harus tau bagaimana perasaan Ryan padanya. Walaupun Mia tidak akan membiarkannya lagi masuk terlalu jauh menyusuri relung hati gadis manis itu.

Mia kembali duduk di bangkunya sambil melemparkan pandangannya kearah jendela yang semula menjadi tempat pengalihan pandangan favorit Ryan. Namun dengan seketika darahnya berdesir dan pandangannya mengabur saat kata demi kata meluncur dari bibir Ryan “Je veux être l'air que tu respires, je veux être le ciel que tu contemples, je veux être les lèvres que tu embrasses, et par dessus tout, je veux être la raison qui fait battre ton cœur” Ryan menyebutkan kalimat itu dengan tangan yang masih menggenggam jemari milik Mia.

Mia menggigit bibirnya berusaha menahan tangisnya “You did all those things, Ryan. Kamu udah pernah jadi udara yang aku hirup, kamu juga udah pernah jadi langit yang selalu aku pandangi. Jadi bibir yang selalu ingin aku cium, dan semuanya. Dan yang jelas kamu juga pernah jadi alasan kenapa jantungku berdebar-debar. Pernah...” Mia membalikkan semua pernyataan Ryan yang benar-benar mengusiknya itu.

“Dulu...dulu sekali” sambung Mia lagi dengan sebulir air mata yang jatuh turun ke pipinya yang dengan cepat langsung di hapusnya. Secepat dirinya beranjak, meninggalkan Ryan yang memejamkan matanya, berusaha meredam semua perih yang dirasakannya.

Ryan kembali menghela nafasnya berat. Ada rasa yang tak tergambarkan menyelip di perasaannya saat tiba-tiba sosok Peter muncul dari pintu yang masih bisa diawasai oleh Ryan. Menghampiri Mia yang duduk di dekat barista sambil menyeruput kopi, terlihat berusaha menstabilkan perasannya. Mau tidak mau Ryan melihat pemandangan dihadapannya, Peter mengalungkan kedua lengannya di leher Mia yang tampak terkejut karena Peter kembali begitu cepat, secepat kecupan bodoh yang lagi-lagi mendarat di bibir Mia. Ryan juga dapat melihat cinta yang begitu besar disana. Melihat mata indah milik Mia yang dulu mengerjap untuknya, karenanya. Senyum yang terkembang, tawa yang teretas, semua memang pernah ada untuk Ryan. Ya, dulu. Du-lu.

Tanpa Ryan sadari dirinya beranjak dari bangku tempatnya duduk. Beringsut pergi tanpa sekalipun melihat ke belakang. Menoleh keara Mia yang sempat mencuri pandang kearahnya. Berusaha melepaskan cinta pertamanya. Cinta yang bagaimanapun akhirnya, rasanya, apapun keadaannya, akan terus terkenang. Cinta yang akan terus diingat sampai kapanpun.

Sementara Ryan, Ryan pergi meninggalkan coffee shop di kawasan megah Champs-Élysées beserta cintanya di dalam sana sambil berbisik pada angin senja di kota teromantis di dunia “Merci pour tout l'amour que tu me donnes. Je ne t'oublierai jamais. Mon premier amour” sambil berharap angin kota Paris akan dengan senantiasa menyampaikan pesannya pada Mia, gadis yang dicintainya.

“Terimakasih untuk semua cinta yang kamu berikan. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Cinta pertamaku...”



- End -