Pages

Monday, September 30, 2013

Senja




Senja ini aku mampu menuliskan larik-larik paling perih. Menuliskan, bagaimana langit runtuh dan jingga gemetar di ujung sana. Aku mencintainya sesekali, dan dia pun seperti mencintaiku. Dan kala senja seperti ini, mestinya aku mampu merengkuhnya di bawah jingga tanpa tepi.

Bagaimana mungkin aku tak terhanyut dalam tenang matanya, tapi aku sanggup menulis larik-larik puisi ini karena di kepala, dia tak lagi ku capai, di dada, dia tak lagi ku gapai. Dan senja ini, puisi menetas di dada seperti embun yang menetes di rerumputan.

Tak mengapa jika cinta tak bisa disini menahan dan menjaga. Sebab seingin apapun aku agar dia ada disini, tetap saja tatapku tak sanggup walau hati ini terus mencari.

Pepohonan berubah putih dan patah senja ini juga. Kami yang dulu sempat bersama, kini jatuh sendiri-sendiri.

Aku memang tak lagi mencintainya, sungguh. Cinta itu sungguh ringkas, namun melupakannya butuh waktu. Karena setiap senja seperti ini, sakit itu kerap terasa. Jiwaku amat mati.

Tapi sakit ini adalah sakit terakhirku karenamu, dan ini puisi terakhirku yang ku tuliskan tentangmu. Kau, sebuah nyanyian yang selalu dilagukan sepi. Kau, jantung yang mendenyutkan arti dari sekumpulan aksara mati. 

Tuesday, May 21, 2013

Un Soir de Paris



Senja itu,  matahari tua beradu dengan mega melahirkan kilau jingganya dari balik jendela coffee shop di kawasan Champs-Élysées, Paris. La plus belle avenue de monde memang benar-benar pantas untuk menggambarkan keindahan jalanan di Paris yang begitu terkenal itu. Orang-orang yang lalu lalang dalam diam, pasangan yang mengumbar mesranya, juga beberapa orang yang tampak terpukau dengan real estate termahal kedua di dunia setelah Fifth Avenue di New York itu memberikan sedikit hiburan bagi sepasang mata yang menerawang dari balik jendela.

“Le ciel est trés nuageux” sebuah suara yang terdengar begitu familiar mengagetkan pemilik mata yang sedari tadi mendaratkan pandangannya pada orang yang lalu-lalang mengitari Champs-Élysées. Membuatnya menoleh dan tersenyum pada gadis berambut terkucir yang melepas celemek dari tubuhnya.

“Mendung banget sih, ada apa?” tanyanya lagi setelah menarik kursi dihadapannya dan menghempaskan tubuhnya disana.

“Il va  faire de l’orage” jawab pemilik sepasang mata itu sambil mengetukkan jarinya diatas meja coffee shop milik gadis  dihadapannya itu.

“Badai apa? Kamu ini mengada-ada aja” gadis itu menggeleng, membuat rambutnya yang terkucir bergoyang ke kanan dan ke kiri.

“J’ai soif. Vous désirez? Chocolat chaud?” tanya gadis itu dengan mimik gerah sambil memanggil salah seorang pelayannya, memesan minuman.

“Oui. Volontiers” pemuda itu mengiyakan tawaran gadis itu untuk memesan coklat hangat sambil menarik sudut bibirnya, melengkungkan sebuah senyuman.

Setelah gadis itu menyebutkan pesanan coklat panas mereka kepada pelayan yang datang dengan tergopoh-gopoh kearah mereka, tidak ada lagi yang bersuara. Mereka berdua terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, membiarkan keheningan memenjarai mereka diantara pelanggan coffee shop yang juga sepertinya enggan untuk membuat ricuh suasana.

“Aujourd’hui , je déjeune avec un collégue” kalimat itu meluncur dari bibir si pemilik sepasang mata yang sedari tadi masih menatap berkeliling dan semakin tampak gelisah.

“Sounds great. Makan siang sama mereka dimana?” balas gadis dihadapannya itu dengan senyum yang masih terus mengembang walau dia sadar ada yang tidak beres dengan pria dihadapannya itu.

“Chez Plumeau, Montmartre. Merci” ucapnya singkat sambil berterimakasih kepada pelayan yang menghantarkan coklat panas untuk mereka.

Good place. Aku juga pernah kesana beberapa kali sama temen” respon gadis itu sambil langsung menyeruput coklat panas yang baru saja disajikan dihadapannya. Coklat panas di coffee shop miliknya ini memang terkenal kelezatannya, hingga dirinya sendiri pun nyaris tidak bisa mengabaikannya.

Pria itu hanya tersenyum sambil menatap gadis dihadapannya itu. Gadis yang tenggelam dengan kenikmatan coklat hangat di senja yang cukup dingin di kota teromantis di dunia. Mata gelapnya meneliti setiap inci wajah gadis dihadapannya itu, membiarkan tubuhnya menghangat dengan sendirinya.

“Repose-toi bien” ucap gadis itu mengagetkan pria yang masih mengaitkan matanya pada wajah dihadapannya dan membuatnya sedikit tersentak.

“Huh?” pemuda itu mengernyit heran sekaligus terkejut.

“Istirahatlah, kamu butuh istirahat. You look so worse lately” gadis itu tersenyum sambil kembali menyeruput coklat hangatnya. Tidak bisa dipungkiri, masih ada kecanggungan yang merajainya saat membicarakan hal yang cukup personal dengan pria di hadapannya itu.

Pria itu tertawa kecil “Vous avez raison. Partner kerja aku juga bilang begitu” jawabnya sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas ucapan gadis dihadapannya.

Gadis itu hanya tersenyum sambil menghela nafas kecil. Perasaannya kembali bergejolak, membuatnya ragu akan apa yang dia rasakan. Semua terjadi begitu cepat setelah apa yang terjadi diantara mereka berakhir dengan sangat tragis. Cinta yang pernah mereka miliki akhirnya harus mereka putus, harus mereka kubur dalam-dalam sebelum sempat saling menyapa. Dan tidak ada yang patut disalahkan. Tidak keduanya, tidak juga waktu, apalagi keadaan. Takdirlah yang telah menuntun mereka ke jalan yang mereka tapaki sekarang. Dan di kota teromantis sedunia itu, semua berakhir sekaligus bermula.

“Tu me manques...”

“Ryan...”

“Ma chérie...” sebuah suara rendah mengagetkan Ryan dan Mia yang nyaris akan tenggelam dalam percakapan penuh emosi.

“Hey, mon amour...” Mia menyahut dengan nada suara yang sedikit meninggi seolah ingin menegaskan pada Ryan tentang statusnya dengan sang pemilik suara rendah yang dengan seketika membuyarkan semua skenario yang telah tersusun matang dikepala Ryan.

Don’t you have any course this evening?” Mia yang jemarinya telah di genggam pemuda dihadapannya itu bertanya lembut tanpa memperdulikan Ryan yang menatap mereka dalam diam, berusaha meredam sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Dan dari sara Mia menatap pemuda itu, cara Mia membenarkan jaket pemuda itu, semuanya benar-benar membuat Ryan harus menelan kembali semua yang akan diucapkan.

 Je peux résister à tout, sauf à toi. I want to meet you first before i take the French course. Lack of spirit lately” ucap pemuda tampan itu dengan aksen British yang begitu kental. Mata hijaunya mengerjap nakal kearah Mia yang menatap balik pemuda itu dengan sangat lembut.

“Hahaha...” Mia hanya tertawa renyah sampai matanya menangkap sosok Ryan yang menggeser duduknya sambil berdeham kecil sebelum menyeruput coklat panas yang dipesankan Mia.

“Ah, mon amour it’s Ryan, my mate. He’s also from Indonesia” Mia mengenalkan Ryan yang langsung menyambut uluran tangan pemuda dihadapannya itu dengan canggung.

“Peter...” pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan suara rendah yang terdengar begitu khas dan tentu saja pelafalan yang terdengar begitu British.

“Ryan...” balas Ryan sekenanya dan kembali pada posisi duduknya sambil terus meredam perasaan kesal pada dirinya sendiri.

Well, as you know i’ve a class then now i’ve to go. Wait me okay, i’ll pick you up after the course. Okay?” Peter berucap sambil mengusap pucuk kepala Mia yang tersenyum manis sambil terus menatap Peter penuh cinta.

Mia tidak menyahut, namun gadis itu mengagguk sambil mengelus lengan kokoh milik Peter yang langsung mendaratkan sebuah kecupan dibibir tipis milik Mia “Chocolat chaud?” tanyanya usil saat mendapati sisa-sisa coklat panas dari bibir Mia yang langsung membuat Mia mengangguk disela tawa kecilnya.

“Semangat!” Mia membisikkan kata dalam bahasa Indonesia saat tubuh kecilnya di peluk oleh tubuh jangkung Peter.

“Terimakasih” balas Peter dengan logat anehnya.

“Tu es toujours dans mon coeur. Forever” ucap Peter sambil lagi-lagi mendaratkan kecupannya. Membuat semburat merah di pipi Mia semakin terlihat jelas dari sudut mata Ryan yang sedari tadi memperhatikan mereka.

Enchanté, Ryan. À plus tard” Peter berpamitan pada Ryan yang hanya menyahut dengan sebuah senyuman kecil yang terlihat begitu dipaksakan dan anggukan enteng dari tempat duduknya.

“Votre petit ami? pacar kamu?” cecar Ryan sesaat setelah Mia kembali duduk dihadapannya dengan rona merah jambu di pipi dan senyum tertahannya yang masih bisa dilihat Ryan dengan sangat jelas.

Mia menghela nafas sambil mengangguk, menyeruput coklat panasnya lagi dalam diam, membiarkan Ryan berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Entah kenapa Mia begitu yakin Ryan akan menyatakan sesuatu tentang rasanya, perasaannya atas Mia. Hanya saja tidak ada lagi yang mampu Mia lakukan. Hatinya telah dimiliki oleh Peter. Nyaris seutuhnya dan nyaris menghapus nama Ryan yang sempat terpatri di sudut terindah hati Mia.

“Quelle chance. Beruntung...” gumam Ryan sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang didudukinya. Matanya kembali menatap orang-orang yag berlalu lalang di sepanjang Champs-Élysées. Dan matahari semakin lama semakin condong ke barat, menghasilkan semburat jingga yang seolah mampu menggambarkan perasaan Ryan yang begitu jingga. Cerah, berwarna, namun memiliki sisi gelapnya.

“Pardon...” Mia berseru sambil menjauhkan bibir cangkir dari bibirnya.

Hening yang tercipta untuk beberapa saat sampai akhirnya Ryan memecah keheningan itu dengan sebuah pertanyaan yang lagi-lagi membuat Mia mengernyit heran “kenapa...?”

“Kenapa? Je ne comprends pas. Kamu ngomongin apa sih?” Mia balas bertanya pada Ryan yang masih tidak melepaskan matanya dari jendela coffee shop yang mulai semakin ramai itu.

“Vous comprenez bien... kamu pasti ngerti maksud aku” ucap Ryan yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Mia.

“Aku bener-bener ga ngerti” tambah Mia saat Ryan masih enggan berbicara lebih banyak tentang maksud perkataannya, atau lebih tepatnya pertanyannya.

“Aku ga pernah peduli sejauh apa jarak yang memisahkan kita. Aku juga ga pernah peduli setebal apa rindu yang udah nyelimutin aku. Aku...”

“Ryan...” Mia memotong ucapan Ryan dengan suara yang tercekat. Tubuhnya seketika menegang setiap mendengar kata demi kata yang terucap dari bibir Ryan.

Ryan mengalihkan pandangannya dari jendela dan memandang wajah manis milik Mia. Wajah Asianya yang memabukkan terlihat begitu kontras dengan orang-orang disekeliling mereka saat itu, membuat setiap mata pasti akan menoleh dua kali untuk melihat keindahan yang dimilikinya. Kulit coklatnya terlihat begitu sehat sekaligus eksotis berpadu dengan rambut hitam gelapnya yang nyaris selalu terkuncir. Mata besar milik Mia juga selalu membuat gadis itu terlihat seperti terus bersemangat.

Mia merasa risih saat Ryan terus menatapnya nyaris tak berkedip, membuat perasaannya kembali tergelitik mendapati pandangan Ryan yang cukup dirindukannya setelah Ryan pergi untuk menyelesaikan S1nya di Indonesia sesuai keinginan ibunya. Meninggalkan Mia yang memang sudah menetap di Paris lebih dari 15 tahun.

“Mia...” Ryan mendekat dan meraih kedua tangan Mia kedalam genggamannya. Membuat Mia bungkam dan hanya mampu menatap Ryan dan segala tingkah polah bodoh yang dilakukannya.

“Je suis amoureux de toi...” ucap Ryan dengan pandangan mata yang menatap lurus kearah Mia sambil berusaha meyakinkan Mia atas ucapannya.

Mia terdiam untuk beberapa detik sebelum akhirnya sebuah tawa renyah yang kaku terdengar dari bibirnya “Vous plaisantez!” Mia tidak percaya dan dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Ryan dan mengatur debaran jantungnya yang menjadi.

Ryan menggeleng “Je t’aime parce qu’il y a dans ton coeur je trouve un grand amour pour moi” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. Ya, Ryan mencintai Mia karena Ryan selalu merasa Mia memiliki cina yang besar untuknya. Selalu.

“Non...” kali ini suara Mia terdengar bergetar. Ada hantaman yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Ada perasaan campur aduk yang menggerayanginya saat mendengar setiap kalimat yang diucapkan Ryan padanya. Ada cinta disana, ada kesungguhan dan ada kepastian. Ya, kepastian. Kepastian yang selalu Mia tunggu. Bertahun-tahun.

Toi et moi, ça ne changera pas” sambung Ryan lagi saat melihat sesuatu mengusik Mia. Namun Mia masih menggeleng lemah, berusaha meredam sesak di dadanya sambil terus meremas ujung bajunya. Semua tidak akan menjadi serumit ini kalau saja...

“Menapaki jalan rindu itu ga gampang kan? Kamu tau benar hal itu. Ada kabut, ada airmata, ada perih, tapi dibalik itu semua ada cinta. Dan kamu tau, dihatimu selalu ada aku yang akan memelukmu. Iya kan?” Ryan lagi-lagi mencoba meruntuhkan pertahanan Mia. Mencoba meyakinkan Mia dengan cintanya walau dia tau Mia sudah jatuh cukup jauh kedalam kelembutan dan segala yang diberikan lelaki British yang dikenalkan Mia dengan senyum sumringahnya beberapa waktu lalu. Lelaki yang pastinya mengisi hari-hari Mia saat Ryan kembali ke tanah air untuk menimba ilmu.

“Que c'est drôle...” Mia berujar dengan sinis.

“Kamu itu lucu ya. Kamu itu ngebawa terang buat aku, ngebawain tenang. Dan kamu datang, terus kamu ngilang gitu aja, sekarang kamu balik dan...dan kamu omongin hal ini kaya ga punya beban apapun” Mia berusaha sekuat tenaga untuk terus menyambung setiap kata yang terdengar bergetar dan semakin bergetar. Ryan benar-benar mempermainkan perasaannya.

“Mia, please... i know that...”

No. You know nothing. Kamu ga tau seberapa susahnya aku disini saat kamu ga ngabarin aku, saat kamu ga bales semua e-mail aku, saat kamu pergi seolah-olah kamu ga ninggalin siapapun disini. Très désagréable!”

“Aku...Aku mau konsentrasi sama...”

“Apa? Kamu mau bilang kalau kamu mau konsentrasi sama kuliah kamu?” Mia menyahut dengan sangat sinis. Dagunya terangkat dan jelas sekali gadis itu begitu terluka. Terluka oleh cinta lamanya.

“Mia don’t make it hard for me...”

You always do that. You get me into trouble, everytime. Aku terus menerka-nerka gimana perasaan kamu ke aku. Kamu selalu suruh aku nebak kamu, mikir, berspekulasi sendiri dan...”

“Apa itu semua ga cukup, Mi? Apa semua kebersamaan kita ga bisa nunjukin bahwa kita itu punya sesuatu untuk dipertahankan?” Ryan menyahut sambil berusaha untuk menahan desibel suaranya agar tidak meledak-ledak.  Ryan sadar Mia terluka, terluka karenanya. Dan mendapati Mia dengan suaranya yang tercekat sekaligus bergetar, Ryan benar-benar nyaris gila.

Mia menggeleng lemah sambil tertawa getir “Aku bukan dukun. Aku cuma cewek biasa yang butuh kepastian, Yan. Mana aku tau kamu suka sama aku kalau kamu ga pernah bilang apapun” papar Mia getir.

Ryan menghela nafas “Aku kira kamu cukup dewasa untuk paham bahwa gak semua hubungan butuh label”

Mia mendengus mendengar ucapan Ryan yang seolah memojokkannya “Tu ne sais vraiment pas quoi que ce soit. Kamu ga tau apa-apa. Pengorbanan cinta itu persis pelangi. Arc-en-ciel. Akan ada bahagia setelah kesukaran. And i got my rainbow...” Mia menggantungkan kalimatnya sambil mencoba membaca ekspresi Ryan sebelum akhirnya menyebutkan sebuah nama “Peter...”

Ryan menarik tangan Mia saat gadis itu hendak beranjak dari tempatnya dengan mata berkaca-kaca. Sumpah mati Ryan tidak akan kuat melihat Mia seperti itu, tapi dia merasa pembicaraan mereka tidak bisa selesai begitu saja. Setidaknya Mia harus tau bagaimana perasaan Ryan padanya. Walaupun Mia tidak akan membiarkannya lagi masuk terlalu jauh menyusuri relung hati gadis manis itu.

Mia kembali duduk di bangkunya sambil melemparkan pandangannya kearah jendela yang semula menjadi tempat pengalihan pandangan favorit Ryan. Namun dengan seketika darahnya berdesir dan pandangannya mengabur saat kata demi kata meluncur dari bibir Ryan “Je veux être l'air que tu respires, je veux être le ciel que tu contemples, je veux être les lèvres que tu embrasses, et par dessus tout, je veux être la raison qui fait battre ton cœur” Ryan menyebutkan kalimat itu dengan tangan yang masih menggenggam jemari milik Mia.

Mia menggigit bibirnya berusaha menahan tangisnya “You did all those things, Ryan. Kamu udah pernah jadi udara yang aku hirup, kamu juga udah pernah jadi langit yang selalu aku pandangi. Jadi bibir yang selalu ingin aku cium, dan semuanya. Dan yang jelas kamu juga pernah jadi alasan kenapa jantungku berdebar-debar. Pernah...” Mia membalikkan semua pernyataan Ryan yang benar-benar mengusiknya itu.

“Dulu...dulu sekali” sambung Mia lagi dengan sebulir air mata yang jatuh turun ke pipinya yang dengan cepat langsung di hapusnya. Secepat dirinya beranjak, meninggalkan Ryan yang memejamkan matanya, berusaha meredam semua perih yang dirasakannya.

Ryan kembali menghela nafasnya berat. Ada rasa yang tak tergambarkan menyelip di perasaannya saat tiba-tiba sosok Peter muncul dari pintu yang masih bisa diawasai oleh Ryan. Menghampiri Mia yang duduk di dekat barista sambil menyeruput kopi, terlihat berusaha menstabilkan perasannya. Mau tidak mau Ryan melihat pemandangan dihadapannya, Peter mengalungkan kedua lengannya di leher Mia yang tampak terkejut karena Peter kembali begitu cepat, secepat kecupan bodoh yang lagi-lagi mendarat di bibir Mia. Ryan juga dapat melihat cinta yang begitu besar disana. Melihat mata indah milik Mia yang dulu mengerjap untuknya, karenanya. Senyum yang terkembang, tawa yang teretas, semua memang pernah ada untuk Ryan. Ya, dulu. Du-lu.

Tanpa Ryan sadari dirinya beranjak dari bangku tempatnya duduk. Beringsut pergi tanpa sekalipun melihat ke belakang. Menoleh keara Mia yang sempat mencuri pandang kearahnya. Berusaha melepaskan cinta pertamanya. Cinta yang bagaimanapun akhirnya, rasanya, apapun keadaannya, akan terus terkenang. Cinta yang akan terus diingat sampai kapanpun.

Sementara Ryan, Ryan pergi meninggalkan coffee shop di kawasan megah Champs-Élysées beserta cintanya di dalam sana sambil berbisik pada angin senja di kota teromantis di dunia “Merci pour tout l'amour que tu me donnes. Je ne t'oublierai jamais. Mon premier amour” sambil berharap angin kota Paris akan dengan senantiasa menyampaikan pesannya pada Mia, gadis yang dicintainya.

“Terimakasih untuk semua cinta yang kamu berikan. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Cinta pertamaku...”



- End -

Friday, February 8, 2013

Dilemma [sneak peek]




“Sebuah cerita cinta masa lalu bisa jadi hal yang sangat membekas dan sangat sulit untuk dilupakan. Cinta yang terkadang masih membuat kita terjebak olehnya. Kenangan pahit akan tersingkir bersamaan dengan kenangan indah yang akan selalu membekas dan berubah menjadi bulir air mata. Dan saat itu adalah saat dimana tidak ada seorang pun yang tau kecuali kamu, tuhan, dan kamarmu yang seketika berubah dingin...”


***

“Giiin... Lo itu ngapain aja sih? Daritadi gue cuap-cuap apa lo ga dengerin sama sekali, haah? Lo pikir gue apa? Radio rusak? Pengantar tidur lo?” Suara cempreng gadis dengan kawat gigi yang berbaring disebelah Gina mengagetkan Gina yang menatap nanar, lurus ke langit-langit kamarnya.

“Lo itu ngagetin gue aja sih, Le. Gabisa liat orang tenang dikit aja” Gina menggerutu sambil beranjak dari kasur king size nyamannya menuju sliding door yang menyambungkan kamar ke balkon yang mengarah ke taman belakang rumahnya. Mata hazel indah milik Gina yang diperoleh dari ayahnya yang memiliki darah Belanda terlihat berbinar menatap bintang yang bertabur menghiasi malam.
“Bukan ngagetin geblek. Lo sendirikan yang minta gue menjelaskan semua kegamangan lo. Kerisauan hati lo. Kegundah-gulanaan lo. Dan segalanya tentang lo dan masa lalu lo itu. Lo nya malah diem kaya mannequin naked gitu” Lexy yang bertubuh kurus yang berwajah sangat Asia ikut beranjak dari kasur nyaman milik Gina dan berjalan mendekat, menyusul Gina yang sudah bersandar di pagar besi balkonnya sambil menengadah menatap bintang-bintang yang bertaburan.
Gina hanya mampu tertawa mendengar omelan Lexy yang terkadang memang begitu berlebihan. Naked mannequin. Gina bener-bener ga habis pikir Lexy temennya yang super duper sassy itu bisa ambil perumpamaan seperti itu buat ngegambarin Gina yang jelas-jelas melamun. Benar-benar tidak masuk akal bagi Gina, tapi itulah Lexy. Sahabatnya sejak SMP yang begitu dia sayangi. Satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya walau terkadang Gina suka bete sendiri ngadepin Lexy yang cerewet ampun-ampunan.
“Jadi...? Kesimpulannya, setelah 2 taun ga berkabar lo masih nungguin si mister almost fine itu?” Lexy melirik Gina yang masih sibuk dengan bintang-bintang di langit yang tampak begitu cantik malam itu, membuat hatinya lagi-lagi berdesir. Entah karna keindahan yang dipancarkan bintang-bintang, atau karna perasaannya sendiri yang sedang tidak menentu.
“Namanya Bara, Le. Bukan Mister almost fine atau yang lainnya” Gina mendelik kearah Lexy yang dengan santainya menatap Gina tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Lexy bukannya menjawab, gadis kurus itu justru berjalan kearah meja rias Gina dan mengambil sebuah foto hasil photo box yang terselip di pinggiran cermin Gina. Foto Gina dengan seorang cowok bermata gelap yang tersembunyi dibalik kacamatanya. Di foto itu Gina tampak tersenyum lebar sambil berpose dalam beberapa gaya. Di pojok kiri atas, Gina tampak tersenyum sambil melirik cowok berkacamata tadi yang juga melirik kearah Gina. Lalu ada foto Gina yang menyandarkan kepalanya di pundak cowok tadi, lalu foto mereka dengan kedua lidah terjulur, saling berangkulan satu sama lain, dan yang paling Lexy suka adalah foto saat Gina mengerucutkan bibirnya kearah kamera sementara cowok disebelahnya itu merangkulkan sebelah tangannya pada Gina dan tangan satunya yang bebas menjawil manis pipi Gina. Serasi.
“Lo liat ini. Ada Davin yang jauuuh lebih hebat dari si Mister almost fine lo itu. Jelas banget kalo Davin sayang sama lo, Gin. Cinta. Dia itu bukan almost fine lagi, tapi udah fine banget dah buat lo” Lexy menyodorkan foto Gina dan Davin (sahabat Gina dari kecil) yang hanya dibalas dengan sebuah lirikan singkat dari Gina.

***

Natagina Anne Shekclerr. Gadis Indo-Belanda yang hidup dengan kemewahan, tapi tetap dalam kesederhanaannya. Hotel milik Shecklerr company yang tersebar nyaris diseluruh tempat wisata dunia tidak membuat Gina senang bepergian ke tempat-tempat seperti New York, London, Dubai, Jepang, atau Paris, bahkan Los Angeles dan Las Vegas sekalipun. Gina lebih senang di negaranya sendiri. Derawan, Bali, Lombok, Sabang, bahkan Wakatobi dan Raja Ampat pernah didatanginya entah dengan keluarganya, atau teman-temannya.
Gina adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya Melissa Anne Shekclerr adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi fashion terkenal di Milan yang sudah malang-melintang di dunia fashion. Pintar? Sudah jelas. Hanya saja Mels –begitu Melissa biasa dipanggil- sangatlah berbeda dengan Gina. Mels tidak akan segan-segan memamerkan kekayaan, kecantikan, juga kepintarannya dihadapan orang lain. Namun orang-orang nyaris tidak pernah sebal ataupun berbicara hal-hal yang buruk tentang Melissa karna mereka beranggapan bahwa adalah hal wajar bagi Melissa untuk menyombongkan diri dengan segala yang dimilikinya, sehingga bagaimanapun Mels seenaknya merubah jadwal pertemuan hanya untuk menghadiri sebuah pesta di belahan dunia lain atau bagaimana Mels meninggalkan runaway hanya karna sebuah panggilan kecil party mendadak dari sahabat-sahabatnya, setiap orang tetap menyukai Melissa. Tetap senang dengan gadis cantik yang chic itu.
Sementara Gina, banyak pria yang mengejar gadis cantik nan rupawan itu dengan atau tanpa embel-embel Shecklerr dibelakangnya. Sosok Gina yang terkesan manis membuat banyak pria berlomba-lomba mendekati Gina. Rambut curly brunette Gina yang kerap dibiarkan terurai akan bergoyang-goyang mengikuti lenggok tubuh semampainya saat berjalan. Mata hazelnya tampak menyatu dengan kulit putihnya. Juga bibir penuhnya yang diolesi lipgloss, selalu terlihat menarik. Kepribadian Gina yang ramah juga membuatnya gampang dekat dengan siapapun disekolahnya. Sekolah biasanya. Sekolah negri yang meninggalkan kenangan begitu mendalam baginya.
Sejak kembali ke Indonesia saat berumur 10 tahun, Gina sudah memutuskan untuk masuk ke sekolah umum di negara asal ibunya itu. Selama di Belanda Gina memang disekolahkan di sekolah khusus. Bukan sekolah anak berkebutuhan khusus, tapi seperti sekolah bertaraf Internasional dengan biaya yang pastinya selangit. Dan sejak mengetahui keputusan ayahnya untuk melebarkan sayap perusahaan Shecklerr ke wilayah Asia khususnya Asia Tenggara, Gina yang tertarik dengan negara asal ibunya itu langsung berandai-andai sampai akhirnya memutuskan untuk bersekolah di sekolah umum (negeri). Awalnya Damien Shecklerr –ayahnya- tidak menyetujui sama sekali dan memilih home schooling untuk Gina. Namun setelah satu tahun ber-home schooling dan Gina masih merengek tentang sekolah negri, Damien akhirnya mengizinkan Gina ke SMP negeri dengan catatan harus tetap menjadi nomer satu yang tentu saja lagsung disanggupi Gina yang akhirnya bertemu Lexy Longo gadis berkebangsaan Indonesia yang mempunyai darah Amerika Latin dari buyutnya. Ya, Buyutnya.

***

Gina uring-uringan sambil menatap notebooknya yang menjadi satu-satunya sumber cahaya dikamarnya yang gelap itu. Entah kenapa Gina tiba-tiba merasa begitu kalut dan sedih. Pikirannya kembali pada masa-masa saat pertama kali dirinya mengenal sosok jutek yang kalau boleh jujur sangat berkharisma. Seniornya sewaktu SMP yang merupakan kapten tim basket kebanggaan sekolahnya. Hampir seluruh siswi disana menaruh rasa pada cowok tersebut. Entah itu kagum, entah itu sekedar suka, atau rasa sebal karna sikap cowok itu yang memang sangat cuek.
            Akbar Aradi –Bara-, cowok kebanggaan SMP Negri 178 itu memang terkenal dan dikenal nyaris seantero sekolah. Mulai dari kepala sekolah, staff administrasi, guru-guru, siwa-siswi SMPN 178, penjaga kantin, satpam, semua pasti mengenal sosok Bara yang supel. Supel? Iya, Supel. Sebenarnya Bara adalah sosok supel yang gampang bergaul dengan siapa saja, jelas terlihat dari bagaimana dia menjaga hubungan baik dengan teman-teman sesama siwa SMPN 178 atau dengan siswa-siswa dari sekolah lain. Hanya saja pembawaan Bara yang pendiam dan cuek membuatnya mendapat julukan senior jutek dari junior-juniornya. Terlebih saat masa orientasi, saat Bara dengan enggannya menerima surat cinta dari hampir setengah siswi yang masuk ke SMPN 178. Bara juga terkenal dengan omongannya yang pedas, yang tidak jarang membuat siapapun yang menjadi lawan bicaranya bergidik mendengarnya. Namun kembali lagi, sosok itu terlalu bersahaja untuk dibenci.



***

“Mas Baraaa...” suara seorang gadis kecil menyadarkan Bara dari lamunannya. Menyadarkan Bara yang entah sejak kapan mulai masuk kedalam memori masa lalu, membiarkan setiap kepingan kenangan dalam otaknya berputar dan membawanya mengingat kenangan tersebut.

            “Alikaaa... Kamu makin cantik aja” Ucap Bara sambil memeluk Alika, keponakannya yang berumur 6 tahun itu erat.
            “Om Baranya capek, likaaa. Kamu mendingan ganti baju dulu deh sama mbak Mia sana. Baru ntar main sama om Bara. Gih, sana” Tami, kakak ipar Bara sekaligus Bunda Alika berujar sambil duduk dihadapan Bara yang masih memeluk Alika erat.
            “Siapa bilang mas Bara capek, orang mas Bara dari tadi nungguin Alika pulang kok. Yakan?” Bara mencium pipi Alika yang tersenyum manis kepada masnya itu.
            “Mas, mas, Om tau. Perasaan masih muda kamu” Tami mendengus mendengar Bara yang tetap ngotot dipanggil mas oleh Alika yang jelas-jelas adalah keponakannya.
            “Alika lebih senang manggil mas, bundaaa. Mas Bara kan emang masih muda” Jawab Alika polos sambil bergelayut manja di lengan Bara. Membuat Bara tertawa senang sambil menatap Tami yang hanya mampu menggeleng.
            “Yaudah sana ganti baju dulu, baunya gaenak ni, Lika” Bara mengendus Alika sambil mengernyitkan wajahnya.
            Alika memukul pelan Bara yang tertawa mendapti ekspresi sebal Alika “Jahat deh Om Bara. Dasar udah tua” Alika mencibir sambil berlalu, meninggalkan Bara yang tertawa menghilangkan kegalauannya untuk sementara waktu.
            “Masih bisa ketawa gitu kamu, Bar?” suara rendah Tami seketika menghentika tawa Bara. Membuat Bara kembali menunduk dan menghea nafas pelan.
Walaupun Tami adalah kakak ipar Bara, tapi Tami cukup banyak mengetahui hal-hal tentang Bara. Banyak hal yang Bara ceritkan pada Tami, entah itu soal kuliahnya atau soal perempuan. Tami juga tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa Bara sedang memikirkan sesuatu, Tami akan bisa segera menangkap kegundahan Bara hanya dari bagaimana cara Bara menatap. Tatapan kosong Bara memang gampang sekali terlihat saat cowok berperawakan dewasa itu dalam masalah.
“Masih mikirin yang kemarin?” Tembak Tami tanpa babibu lagi. Tami cukup gregetan melihat Bara yang masih berpaku pada satu cewek dari masa lalunya yang masih terus dipikirkannya. Entah bagaimana cara berfikir Bara sebenarnya, tapi yang Tami tau Bara terlalu payah hanya untuk sekedar menunjukkan rasanya, terlalu takut untuk menyampaikan hal yang sebenarnya dirasakannya.
“Kalo kamu terus-terus begini, gimana kamu bisa balik lagi deket kaya dulu sama dia, gimana kamu bisa tau keadaan dia, dan kamu yang begini ngarepin kalo dia bakal terus ada buat kamu? Ngarepin dia terus-terusan single? Ngarepin dia bakal nunggu kamu sampe kamu berani ngungkapin atau setidaknya nunjukin rasa kamu ke dia? Iya?” Kata demi kata yang meluncur dari bibir Tami serasa menampar Bara telak di pipinya. Begitu perih dan pastinya akan terus diingatnya. Bara sadar gadis itu tidak akan terus menunggunya, tapi Bara juga cukup tau dirinya terlalu pengecut untuk kembali memulai.
“Aku capek, Mbak. Mau istirahat” Bara tau akan banyak ‘tamparan’ yang akan Tami layangkan padanya, namun Bara juga tau bahwa dia tidak akan siap menerima semua tamparan itu. Tidak akan pernah siap. Menyadari betapa pengecutnya saja dirinya sendiri sudah cukup membuat Bara menderita.
“Kalo jodoh, gimanapun caranya pasti akan ada jalan” Seru Bara sambil berbalik meninggalkan Tami yang masih menatapnya heran.
“Tapi kalo gaada usaha, garis tangan bisa berubah sendiri. Dimana-mana, cewek itu butuh kepastian, Bar. Gaada cewek yang akan selalu nunggu sesuatu yang ga pasti” Jawab Tami yang semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Bara.
“Gue tau, mbak. Gue emang pengecut” Gumam Bara pelan.

***


“Gin...” sebuah suara yang Gina hafal betul menyapanya pelan namun cukup kuat untuk menghentikan langkah teraturnya di tengah keramaian koridor SMAnya.
“Davin” Sahut Gina saat berbalik dan mendapati sosok Davin dengan varsity dan jeans belelnya menatap Gina sendu.
Davin berjalan mendekat kearah Gina denga tatapan sendunya yang membuat Gina heran sekaligus salah tingkah. Bagaimanapun juga, pengakuan Davin tentang rasa yang dimilikinya itu sedikit banyak membuat Gina bingung bagaimana harus menyikapi Davin yang seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Bersikap seolah semuanya berjalan seperti dulu padahal Gina sudah mati-matian berusaha agar tidak terlihat berbeda.
“Kamu udah selesai sidik jari?” Tanya Davin saat mereka hanya berjarak beberapa centimeter.
Gina hanya mampu mengangguk sambil menyingkirkan tatapannya dari wajah Davin yang masih membuatnya terus merasa bersalah karna tidak bisa membalas rasa dari sahabatnya itu. Davin terlalu baik dan Gina terlalu bodoh telah menyia-nyiakan Davin, setidaknya begitu menurut pendapat Lexy, bahkan Nate yang mengetahui cerita tersebut dari Lexy saat mereka nyaris menghabiskan malam yang panjang dengan saling bertukar cerita di apartemen Lexy.
“Jadi kamu bakal langsung ke Amerika?” Tanya Davin lagi saat melihat sebuah anggukan kecil dari Gina yang memberi efek indah pada rambut brunettenya yang bergelombang.
Gina lagi-lagi hanya mampu mengangguk. Kata-kata yang meluncur dari bibir Davin beberapa minggu lalu seperti kembali lagi terputar di otaknya, menyebabkan gaung yang membuat Gina sulit untuk memikirkan hal lain. Membuat Gina dipenuhi oleh suara parau Ega yang untuk pertama kali Gina dengar. Suara parau yang didengarnya dari sahabat yang disayanginya, yang menatapnya sambil berkaca-kaca. Entah menahan haru, entah menahan perih, atau justru mengekspresikan sebuah kelegaan. Gina hanya mampu menerka, tapi Gina juga jelas terluka dan merasa begitu jahat pada Davin yang selalu ada untuknya.
Davin masih menatap Gina saat Gina mencuri pandang mentapnya dengan ekor mata Gina. Davin masih menatapnya dengan tatapan sayang yang sama. Tidak bertambah, tidak juga berkurang sedikitpun. Hanya saja, sebuah asa yang tercabik dapat Gina lihat dengan jelas disana. Dimana sebuah kebahagiaan terhempas, terpecah belah berkeping-keping.
“Kamu sekarang ga ngerasa nyaman ya sama aku?” Tanya Davin yang sedari awal menyadari perubahaan air muka dan sikap Gina.
Gina menggeleng, namun dalam hati mengiyakan.
“Jadi?” Davin terus bertanya ditengah kebisuan dan kecanggungan yang terus diciptakan Gina, berusaha menemukan sebuah jawaban dari kebisuan Gina.
“Vin,...” Ada jeda yang tercipta untuk beberapa waktu “Gue... gue ga mau kita ber’aku’ – ‘kamu’. Kita ga terbiasa kaya gitu, Vin. Itu ngebuat gue...”
Davin tersenyum “Maaf, Gin. Gue emang lan...”
“Lo bukan lancang. Gue tau bukan hal yang mudah ngebiarin rasa lo yang jatuh terlanjur jauh itu ga berbalas, gue tau persis gimana rasanya cinta sendirian, Vin. Sakit. Jadi...”
 “Jadi harusnya lo bisa sedikit buka hati lo buat orang lain, Gin. Harusnya lo selesain cinta sendiri lo itu, sampe kapan lo harus nunggu dia dengan ketidak pastian? Sampe kapan lo mau nahan sakit yang lo ciptain sendiri itu? Sampe kapan, Gin?! Lo bahkan gatau mungkin dia udah nemuin kebahagiannya dari cewek lain. Dan lo masih tetap mau ngebiarin lo sakit untuk sesuatu yang bahkan lo sendiri gabisa nemuin obat dari sakit yang lo rasain itu?” Davin bersuara setengah berbisik, namun Gina yang nyaris seumur hidup mengenal Davin tau, ada emosi terselip di setiap helaan nafasnya, ada marah yang membumbung di setiap kata-kata yang meluncur dari bibirnya, dan ada luka yang ditorehkannya dihatinya sendiri. Membuat Gina semakin tak berdaya.
“Semua bakal indah pada waktunya, kok” Jawab Gina datar. Kalimat Davin memukulnya telak. Tepat di titik terlemahnya.
“Ya, dan waktu akan dengan senang hati beranjak ninggalin lo perlahan. Good luck buat semua, Gin. You’re still the best. Gue tau lo ga sebodoh itu akan ngebiarin diri lo terus menerus bertahan dengan yang ga pasti” Ucap Davin sambil berlalu meninggalkan Gina yang hanya mampu mematung menatap Davin yang berbalik dan perlahan menjauh, semakin jauh, hingga akhirnya hilang dari pandangannya.


*****


Thank you for reading this one! leave your comment below...
LOVE
xoxo