Pages

Friday, October 3, 2014

di Batas Senja





      Senja ini masih saja sama seperti senja beberapa tahun lalu saat aku pergi meninggalkan kota tempatku ini. Rona jingga di angkasa masih tetap setia memayungi kota indah bertanah basah ini. Aroma tanah selepas hujan teresap masuk melalui indra penciumanku, membawa sekelebat perasaan aneh yang perlahan menyelip di relung hati tepat saat kedua kakiku menginjakkan kaki kembali disini. Hiruk pikuk bandara pun masih saja tetap sama. Orang yang lalu-lalang, yang sedang menunggu, semuanya memancarkan ekspresi yang berbeda-beda. Beberapa tampak risau menoleh kearah jam yang tergantung diatas pintu kedatangan, beberapa tampak berkutat dengan ponsel, dan banyak yang mengedarkan pandangan sambil mencari-cari yang ditunggu. Yang jelas, raut bahagia banyak terlihat disana. Bukan hanya bahagia, tapi juga raut penuh rindu yang kemudian akan terlepas, berdesak menghambur saat yang ditunggu berdiri tegak dihadapan, mengurai segala bentuk rindu yang tertahan.

Mungkin terminal kedatangan sebuah bandara bisa dinobatkan sebagai salah satu tempat yang membahagiakan. Tempat dimana hati yang penuh rindu bersidekap melepas rindu setelah terpisah jarak dan waktu “Icha…!” sebuah sapaan hangat yang cukup mengagetkan ditengah pikiranku terdengar. Namun tentu saja aku tak perlu bersusah payah untuk mencari asal suara tersebut, karena mata ini seolah dengan mudah menangkap sosok jangkung pemilik suara itu.

Sosok itu kemudian membelah kerumunan didekatnya sambil mengabaikan tatapan orang yang mencuri lirik kearahnya yang tampak tampan sore ini. Kaos putih yang dibalut dengan leather jacket, jeans dan sandal jepit. Pemuda tampan itu bahkan masih tetap sama seperti beberapa tahun lalu.

Mata gelapnya menatapku lurus, seolah ingin merangkul hangat manik mataku. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya aku juga menjadi perhatian beberapa orang, khususnya gerombolan gadis yang berada beberapa meter dari kami. Sosok jangkung itu berdiri dihadapanku, mempersempit jarak yang ada sambil menarik ujung bibirnya dan menyungginggkan sebuah senyuman manis untukku. Ya, untukku. Masih. Masih sama persis. Persis seperti beberapa tahun lalu saat dia melepasku.

      Comment allez vous?” ucapnya menanyakan kabarku dengan bahasa dan logat yang hampir sama dengan logat yang biasa aku dengar ditempatku sebelumnya. Membuatku tertawa kecil dan melayangkan sebuah pukulan kecil ke lengannya yang semakin berotot.


      “Baik…” jawabku pelan. Ada rasa yang aneh menjalar saat senyumnya masih tetap ada untukku. Sesuatu yang dulu juga pernah terjadi saat hangat peluknya melepasku.

      Dia tertawa kecil dan mengacak pelan rambut panjangku yang ku biarkan tergerai ditiup angin negaraku “Padahal aku ngarepnya kamu bakal jawab pake bahasa kamu, minimal bien lah” responnya dengan sangat manis.

      “Ça va très bien” jawabku akhirnya mengatakan bahwa keadaanku benar-benar sedang sangat baik “Et toi?” sambungku kemudian, balas menanyakan kabarnya.

      Dia kembali tersenyum, kali ini tampak sangat puas dan mendaratkan sebuah kecupan di pipiku, sontak semakin menarik perhatian orang di sekeliling kami “Ik mis je” balasnya dalam bahasa yang tentu tidak asing baginya yang keturunan belanda tepat di telingaku. Lalu, tubuh jangkungnya bergerak meraih koperku, mengambil alihnya seraya merangkul tubuh mungilku “Welcome, home” ucapnya sambil menyeretku dan juga koperku, tentunya.

***

      “Cha, kamu gabisa pergi gitu aja. Kamu gabisa ninggalin semuanya kaya gini” suaranya yang rendah dan lirih benar-benar membuatku semakin terpojok, tak bergeming. Tatapan mata teduhnya yang gelap seolah berselimut kabut tebal yang akan siap mendatangkan badai. Manik matanya menatapku tajam, seolah ingin mengulitiku.

      “Lihat aku, Cha. Bilang ke aku kalau semua ini memang keputusan kamu. Bilang ke aku, Cha” sambungnya kemudian. Kalimatnya mengingatkan dengan sinetron kacangan di televisi, namun pikiran itu langsung menghilang saat jemari tangannya yang besar meraih jemari mungilku kedalam genggamannya. Kemudian, untuk beberapa waktu tidak ada yang berbicara. Kami membiarkan kehingar-bingaran coffee shop bandara itu memenuhi apapun yang kosong diantara kami, kecuali sela diantara jemari kami yang masih bertaut seolah tak mampu terlepas.

      “Cha…” panggilnya lagi, kali ini lebih lirih.
      Aku menggigit bibir sambil memberanikan diri untuk mengangkat wajahku yang tetunduk dan menatap wajahnya yang hanya beberapa meter dariku “Za…” balasku lemah.

      “Inilah yang terbaik untuk saat ini” ucapku pelan, memberi jeda untuk mengatur nafasku yang memburu “Kamu sadarkan kalau ini memang sudah seharusnya seperti ini. Keberadaanku di dekat kamu, semuanya itu udah memposisikan kamu di tempat yang ga enak. Hubungan kamu, apa kamu ga sadar? selalu aja berakhir karena aku. Apa kamu ga pernah capek membangun sebuah hubungan dengan susah payah dengan orang yang kamu sayangi, lalu kemudian aku ada ditengah kalian, sebagai sahabat yang...”

      “Yang apa?!” potongnya tidak suka. Jelas sekali terbaca dari raut wajahnya yang mengeras.

      Aku menghela nafas “Reza, aku capek terus di curigai, aku capek terus-terusan disangka perusak hubungan orang, aku udah gabisa lagi” aku berhenti. Kali ini mengatur emosiku agar aku tidak meledak. Setidaknya tidak disini “Terlebih, aku gabisa liat kamu, Za. Aku gabisa liat kamu kaya gini terus” sambungku kemudian di sisa keputus-asaanku.

      Dia menatapku heran sambil melepas genggamannya. Rahangnya yang tegas semakin menampakkan kemarahan yang bercampur kekecewaan, juga kesedihan di wajahnya “Aku kenapa?!” tanyanya dengan nada suara yang naik satu oktaf “Gak ada yang salah denganku, Cha. Aku baik-baik aja, aku…”

      “You ain’t fine, Reza” balasku kemudian nyaris putus asa.

      “I do” sanggahnya lagi dengan kepala kerasnya itu.

      Aku menghela nafas –lagi, “Well, and then let’s say ini adalah salah satu keputusanku untuk mengembangkan diri. Ngejar cita-cita aku, sesuatu yang aku inginkan. Anggap ini hanya perpisahan sementara karena aku harus melakukan sesuatu untuk…”

      Aku tidak menyambung kalimatku, tatapan tajamnya cukup membuatku sadar bahawa orang yang duduk dihadapanku saat ini, my friend of life, tidak merasa nyaman dengan apa yang aku lontarkan. Dia terus menatapku yang lelah dengan kalimatku sendiri sampai akhirnya dia menghela nafas berat dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa merah marun yang kami duduki “Udah?” tanyanya “Udah puas curhatnya? Atau masih ada yang mau di omongin?” kalimat tanya yang begitu dingin itu meluncur dengan lancar dari bibirnya, membuatku bergidik dan terdiam mematung ditempat.

      Keheningan diantara kami kembali tercipta, kali ini sungguh jelas terasa begitu menyesakkanku yang sudah terpojok, terdiam ditempatku. Pandangannya memang terpaku entah pada apa, terlihat dari wajahnya yang sudah berpaling dariku. Membuatku terus menerka ekspresi apa yang sedang ditunjukkannya. Yang jelas, binar mata yang biasanya teduh dan mampu menenangkanku itu telah berganti menjadi sesuatu yang tidak pernah ku lihat sebelumnya. Berganti dengan kekalutan serupa badai yang takkan mampu ku urai.

      Detik hingga menit pun aku telan pahit dalam keheningan hingga sosok dihadapanku itu berdiri dari tempatnya dan membuatku bingung. Namun semua terpahamkan saat dia berdiri tepat disampingku sembari meretas jarak yang kami ciptakan, membuatku memiringkan dudukku menghadapnya. Benar saja. Binar mata teduh yang dulu senang ku selami itu sudah berganti dengan kekalutan yang tak ku pahami. Sesuatu yang tidak pernah ku lihat sebelumnya, sesuatu yang teramat sangat asing bagiku yang sudah mengenalnya sejak putih biru. Manik mata gelap itu senantiasa mengerling jahil, dulu. Tidak pernah seperti ini, berkilat marah namun tampak redup. Entah apa yang benar-benar salah dari kepindahanku menuju Negara impianku sejak dulu. Yang jelas, keputusanku untuk terbang ke Vancouver dan menetapi kota indah di British Colombia itu sembari mengambil master dalam bidang art dan design di Emily carr sudah bulat karena dalam beberapa jam ke depan, aku akan ada di dalam pesawat yang akan menerbangkanku kesana. Hanya tinggal menunggu dan aku tidak akan mundur.

      Reza berdeham, membuatku mau tak mau menatapnya “Kalau semua yang kamu rasakan benar seperti itu, kenapa kita tidak menutup diri saja bagi orang lain?” tanyanya membuatku terbelalak “Hanya kita. Kamu, juga aku. Jadi…” Reza hendak menyambung kalimatnya saat aku menyentuh lengannya pelan. 

      “Reza…” bisikku.

     Aku memberanikan diri menatap kekalutan dimatanya sambil mencoba membacanya. Dan yang ku temukan disana adalah sebuah kesungguhan tanpa sedikitpun rasa gamang dalam dirinya. Dia bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya. Hanya kita. Kamu, juga aku.

      Reza menghela nafas, bersamaan denganku yang berusaha menghilangkan fikiran-fikiran aneh dan mengabaikan perasaan yang tidak kalah anehnya dalam pikiranku. Otakku jelas sudah mampu membaca kemana arah pembicaraan kami, hanya saja aku terlalu takut untuk yakin bahwa itulah yang sebenarnya terjadi. Aku takut bahwa selama ini aku sebenarnya tidak sendiri. Rasa itu. Ya, rasa yang pernah ku pendam, sesuatu yang ku pelihara sendiri. Sesuatu yang pernah, atau mungkin yang masih tetap ada disana. Entahlah.

      Belum sempat terurai yang lainnya dari kami, Reza sudah menarikku dari tempat dudukku di tegah hingar-bingar coffee shop itu. Membiarkan pikiranku terus menerka-nerka selama dia menyeretku entah kemana. Hingga aku sadar aku sudah berdiri disalah satu sudut bandara yang jauh dari keramaian. Debaran jantungku seolah tak lagi mampu ku bendung saat aku tersandar di sebuah dinding sudut terminal yang benar-benar jauh dari keramaian. Matanya menatap sendu padaku yang hanya mampu menatap balik takut-takut “Aku gatau apa yang ada di fikiran kamu sekarang” ucap Reza lirih. Dengan berbisik lebih tepatnya, karena saat ini tubuhnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari tubuhku. Dan wajahnya?

      “Hmph…” bibirku yang semula ku gigit sendiri kini telah dilumat oleh sosok jangkung yang menutupi tubuhku dari pandangan orang yang mungkin akan lalu lalang. Tangannya memgang tengkukku lembut sambil terus mencoba melepas segenap perasaannya.

      Aku hanya terdiam, mencoba mencerna dan tidak membalas sedikitpun. Aku jelas terkejut, tapi tidak juga, karena ini bukan kali pertama buatku. Hanya saja, saat aku memejamkan kedua mataku untuk merasakan rasa yang sesungguhnya, aku sadar bahwa orang yang sedang menciumku adalah Reza. Reza sahabatku yang tidak akan mungkin tergantikan. Dan aku jelas tidak bisa terus membiarkan hal ini berlanjut, karena sahabat adalah sahabat dan…

      “Icha…” ucapnya terkejut saat dengan spontan aku menolak tubuhnya dari hadapanku.

      Aku melihat sekilas kearahnya lalu mengalihkan pandangan pada jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tanganku “Sebentar lagi aku berangkat” ucapku gugup ditengah perasaan hangat yang masih meyelimuti tubuhku.

      Reza kemudian seperti menghela nafas cepat sebelum akhirnya mengacak rambutnya frustasi. Dan detik berikutnya, dia menatapku tanpa berbicara sepatah katapun, seolah apa yang baru saja terjadi tidaklah ada artinya. Ciuman itu, perasaan yang menguar, atmosfir yang mengungkung kami, tatapan mata yang saling bertukar, sentuhan itu, semuanya seperti hilang begitu saja berganti kecanggungan yang begitu dingin.

      Beruntunglah dengan segera Reza menarik tanganku, merangkulku, lalu beranjak menunggu ruang tunggu bandara. Langkah demi langkah kami jalani dalam diam, sibuk dengan pikiran kami sendiri. Perasaanku sungguh tidak karuan saat Reza bersikap seolah tidak ada yang baru saja terjadi diantara kami. Sungguh bukan perpisahan seperti ini yang aku harapkan “Sebentar lagi kamu berangkat” katanya gamang, seperti sebuah peringatan untuk dirinya sendiri.

      Aku mematung dengan gaung suaranya di otakku. Pandanganku tertuju pada sign diatas kepalaku yang bertuliskan waiting room dengan gate menuju kehidupan lain yang sudah menungguku beberapa meter di depan. Aku kemudian kembali menatap Reza yang tidak melepas pandangannya dariku sambil mengangguk kecil. Tatapannya itu begitu sulit untuk ku jelaskan. Tidak ada badai disana, hanya saja mata gelap yang selalu mampu menghanyutkanku itu menyiratkan apa yang tidak pernah dan tidak ingin ku lihat. Sebuah luka yang begitu mendalam, mungkin.

      “Aku pergi ya…” kataku pelan. Suaraku sendiri bahkan nyaris hilang ditengah ramainya suara lain yang ada disekeliling kami.

      Reza hanya mampu tetap ada dalam posisinya tadi sambil menatapku, tak bergeming. Seolah sosok yang berdiri menjulang dihadapanku itu tidak lagi memiliki kekuatan bahkan hanya untuk melepasku dengan sebuah senyuman. Dan mau tidak mau, aku berbalik. Meninggalkannya dibelakangku yang –mungkin- masih terus menatapku.

      “Tarissa!” serunya.

      Langkahku tertahan saat aku merasakan tangannya menahan lenganku hingga dengan sekali gerakan tubuhku berbalik kearahnya. Kembali kami terdiam, saling bertukar pandang hingga akhirnya sebuah usapan halus di punggung tanganku meruntuhkan pertahananku, membuatku langsung menghambur ke pelukannya tanpa babibu “Don’t make it hard for me, Za…” rengekku dalam pelukannya.

      Reza tidak menyahut, tapi aku bisa dengan jelas merasakan bahwa pelukannya semakin erat, diikuti dengan usapan di punggung dan sebuah kecupan di pucuk kepalaku “No. I won’t. I won’t make it hard, Cha” bisiknya di telingaku yang kemudian disudahi dengan sebuah kecupan hangat di pipiku.

      Aku masih berdiam saat tangannya memegang wajahku, membuatku menatapnya lurus tepat ke manik matanya yang indah “Kembali lagi ya. Aku bakal nungguin kamu disini” katanya “Setahun, dua tahun, berapa pun, just lemme know when you’ll come back. I’ll come, waiting you to stare at me this way” sambungnya lagi dengan sangat manis. Sesuatu yang membuat jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya, memompa rasa hangat ke seluruh tubuhku.

      Aku tersenyum kecil “Tapi ini terminal keberangkatan, Za…” balasku yang langsung disambutnya dengan gelengan kecil putus asa disela tawa yang mengembang “I know” potongku sebelum Reza melancarkan kalimatnya “4 tahun” bisikku.

      Reza mengangguk mengerti sambil lagi-lagi memelukku erat seolah tak ingin melepaskan “Have a safe flight,…” katanya pelan, namun terasa mengambang karena sepertinya, “sayang” sambungnya kemudian sambil melepasku dari pelukannya dan mendaratkan kecupan kecil di bibirku yang mengering mendengar panggilannya.

      Aku memberi hening diantara kami, hingga akhirnya aku memantapkan hati dan pilihanku sambil mengembangkan sebuah senyum getir “Sekali sahabat, akan terus menjadi sahabat” seruku cepat. Kemudian aku langsung berbalik dan menyongsong hidup baru dihadapanku. Vancouver yang indah sudah menungguku dengan lembar demi lembar cerita yang akan kurangkai disana. Dan disinilah aku memantapkan diri berjalan menuju ruang tunggu berteman jingga di angkasa yang memayungi kota indah bertanah basah ini. Dimana aroma tanah selepas hujan teresap masuk melalui indra penciumanku, membawa perasaan aneh yang menyelip di relung hati.

***

      “By the way, ini belum 4 tahun kan?” tanya Reza saat kami sudah duduk di dalam mobil miliknya yang membelah jalanan kota di batas senja.

      Aku menggeleng “Kamu sih, kebelet nikah banget. Kan aku jadi harus buru-buru nyelesain yang disana” jawabku sambil menatap sosok dibalik kemudi yang begitu ku rindukan itu “Lagian, aku gamau ketinggalan perhelatan akbar sahabatku sendiri” sambungku lagi sambil pura-pura sebal pada Reza yang tertawa-tawa sambil mengacak rambutku –persis seperti beberapa tahun lalu- dengan tangannya yang bebas.

      “Kamu ini” sahutnya.

“Aku kan udah bilang, kalau belum kelar urusannya dan ga keburu, kamu bisa dateng kok di acara bulan madunya” Reza melirik kearahku yang masih menatapnya sebal sambil membenarkan rambutku yang diacaknya “Ara mau kok bulan madu ke Vancouver. Dia ngikut aja” tambahnya lagi sambil tersenyum usil.

Aku mendecak sambil melipat kedua tanganku di depan dada “Udah tanya Ara belum apa masih tetep mau kalo aku gabung di acara bulan madunya?” tanyaku sambil mencondongkan wajahku kearahnya yang langsung di tepisnya dengan telapak tangan dan sebuah tawa yang meledak.

“Paraaah” serunya sambil terus mengurai tawa yang entah kenapa malah membuatku harus menelan pahit yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhku. Entah rasa apa sebenarnya ini, hanya saja, tawa Reza yang duduk dibalik kemudi seolah bergema dalam otakku dan membuat perasaanku kembali kacau seketika. Sesuatu yang aneh dan sangat tidak aku harapkan.

Aku mencoba tersenyum saat Reza menatap kearahku yang hanya mampu terpaku menatap jalanan di hadapanku. Aku bisa melihat sahabatku itu menghela nafas lalu menepikan mobilnya dan membuatku menegang di tempatku. Sementara jantungku berdebar lebih kencang, Reza memiringkan duduknya menghadapku. Menatapku, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan matanya kembali menyelimutiku dengan hangat. Ini sungguh tidak benar.

I know” sanggah Reza saat aku ingin meberkelit mengatakan bahwa tidak ada yang salah. Tangannya meraih jemariku yang mengetuk lututku sendiri dengan gugupnya “Tarissa…” panggilnya lembut, selembut tatapan matanya yang terkunci padaku “There’s nothing worse than this, actually. Kita kembali disini, berpelukan, melepas rindu, bercanda, mengurai tawa, seolah semua baik-baik saja, padahal…”

It’s the right thing” potongku lirih. Berusaha keras agar suaraku keluar dari tenggorokanku yang mengering.

Reza kembali menghela nafas “It is” jawab Reza sama lirihnya. Aku yang keras kepala mungkin sudah membuatnya putus asa dengan segala kebohonganku tentang rasa yang kurasakan dengan begitu jelas “Mungkin memang cuma aku yang masih merasakan hal bodoh itu” sambungnya lagi sambil meluruskan duduknya dan menciptakan sebuah jarak dingin diantara kami yang langsung membuatku memaki diriku sendiri.

Ara is the one that you’re looking for” bisikku sambil meraih tangannya kedalam genggamanku.

Dia menatapku lekat-lekat “But, you’re the one that I need the most” ucapnya sambil mendekatkan wajahnya padaku yang mundur dan berusaha menghindari sesuatu yang mungkin saja akan terjadi ditengah kegamangan kami akan rasa yang kembali menguar ke permukaan.

That’s what friends are for” kataku sambil membuang pandanganku ke pinggiran jalan disampingku, muak dengan kalimatku sendiri.

Reza kembali ke posisinya semula dengan sorot mata yang entah bagaimana, yang jelas dua kata yang meluncur dari bibirnya membuatku harus kembali mengecap getir yang ku ciptakan sendiri “Jadi berbahagialah” bisiknya lirih sambil kembali memegang kemudi dan menjalankan mobilnya kembali memecah jalanan yang semakin ramai setelah berhasil mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku.

Dan selama sisa perjalanan di batas senja, aku hanya mampu terdiam menikmati jingga yang disuguhkan, sembari melingkarkan tanganku di lengannya dan menyandarkan kepala di pundaknya sambil berjanji bahwa aku akan berbahagia dengan keputusanku karena hidup sudah tak lagi memberikan pilihan.



***END***