Pages

Saturday, April 11, 2015

Dulu

Aku pernah jatuh cinta padamu, telak. Dulu. Dulu sekali saat celana seragammu masih sebatas lutut dan berwarna biru. Diam-diam aku selalu berharap kau akan tau kebenarannya kelak. Kelak saat waktu berpihak padamu. Entah itu akan terlambat atau tidak, aku tidak pernah tau.

Dan saat ini, saat celanamu tak lagi biru, kita duduk berhadapan di tengah hiruk-pikuk ibukota yang kian menggila sambil berbincang tentang dulu. Dulu yang beberapa tahun belakangan ini coba aku abaikan. Dulu yang kerap membuatku mencari di sela hujan, dulu yang selalu aku rindukan sebanyak gerimis yang jatuh dari langit.

Dia mengaitkan jemarinya, mencoba untuk mengisi kekosongan diantara kami "Betapa aku merindukan kita, Ra..." bisiknya gamang.

Aku menggeleng lemah "Aku bukan lagi orang yang sama" kataku sambil meneguk long black yang ku pesan.

Di sela tegukanku pada jenis kopi favoritku itu, aku menangkap sosok dihadapanku menegang di tempatnya duduk. Manik matanya membesar seperti tidak percaya pada kata-kataku "Apa maksudnya ini, Ra?" tanyanya lirih. Membuatku mengulum senyum kearahnya. Senyuman yang sama seperti yang selalu aku sunggingkan untuknya. Senyuman yang tidak berubah sama sekali, persis sama seperti dulu yang pernah  menjadi milik kami.

Dia masih menatapku "Dulu memang milik kita" kataku.

"Kenangan atas kamu, atas kita, aku hidup dengan mereka selama bertahun-tahun" sambungku lagi sambil menatap lurus manik matanya yang seolah memeluk erat manik mataku yang tersembunyi di balik lensa kacamataku. Tatapannya benar-benar sulit untuk diartikan.

Aku memutuskan pandanganku pada manik mata pekatnya "Berhentilah mencari tau tentangku" kalimat pahit ini meluncur dengan dinginnya dari bibirku. Tanpa ampun.

"Ra..." panggilnya lagi. Sama mesranya seperti dulu. Panggilan yang bernada sama dengan yang selalu dia tujukan padaku di setiap sambungan telfon yang terhubung, di setiap pertemuan-pertemuan kami dulu. 

Aku menghela nafas dan menatap keluar melalui jendela kedai kopi yang ramai itu "Dulu selalu jadi pendongeng paling pilu buatku. Paling sendu" 

"Bertahun-tahun setiap kali malam melarut, aku kerap terbangun. Aku masih ingat bagaimana aku selalu terduduk di tengah heningnya malam, dengan naifnya menyebut namamu ribuan kali. Berharap dulu itu tidak pernah berakhir" sambungku lagi dalam dekapan lekat manik mata gelapnya.

Kemudian untuk beberapa saat kami menciptakan hening diantara kami, sampai akhirnya aku meraih jemarinya yang terkait ke dalam genggamanku "Mungkin kita bukan lagi orang yang sama" kataku pelan. Tapi kemudian aku menarik kalimatku dengan sebuah gelengan pelan "Tidak. Mungkin aku yang bukan lagi orang yang sama seperti dulu" 

Dia menatapku tak percaya. Manik matanya yang menatapku jelas mengecil seiring dengan tatapannya yang berubah sayu. Aku tidak bisa menatapnya seperti itu. Melihatnya terluka bukanlah sesuatu yang aku harapkan "Dulu telah berubah menjadi saat ini. Dan sekarang, tau-tau kita sudah begitu terlambat untuk sesuatu bernama cinta" kata demi kata meluncur dengan gaman dari bibirku. Setiap kata yang meluncur benar-benar membuat perasaanku menjadi campur aduk. Perasaan hangat menyelimuti tubuhku, tapi jelas ada luka yang berusaha aku tutupi disana.

Dia melepaskan pandangannya dariku. Jemarinya yang terkait juga ditariknya kembali kehadapannya, menyisakan jarak di setiap selanya "Bukan ini yang ingin aku dengar, Ra" sahutnya pelan. Pelan sekali hingga nyaris hilang berbaur dengan kehiruk-pikukan yang terjadi sore itu.

Lagi-lagi aku hanya mampu tersenyum kearahnya "Lain kali, bacalah setiap tanda yang tercermin dari orang-orang di sekitarmu. Kelak kau tidak akan terlambat lagi" ucapku mencoba memberi sedikit masukan untuknnya yang tampak begitu mengambang di tempatnya duduk. Pundaknya melorot di sandaran kursi, walau manik matanya masih memagut erat manik mataku. Lalu kami terdiam. Hiruk-pikuk di sekeliling kami seolah tak ada artinya. Kami begitu terhanyut dengan hening yang kami ciptakan sendiri. Kami sama-sama terdiam, saling bertukar pandang dan saling hanyut dalam riak pikiran kami sendiri.

"Mungkin..." ucapku memecah hening "Mungkin kalau kau dulu mampu membaca tanda yang tercermin dariku, kau akan mengerti" sambungku kemudian. Ada rasa perih yang terasa di hatiku saat kalimat itu meluncru pelan dari bibirku. Seolah luka yang sudah nyaris mengering itu tersenggol, menciptakan nyeri.

Dia tidak meresponku, tapi pandangannya sudah tidak lagi terpaut padaku. Pandangannya tertuju pada sesosok orang yang berdiri tidak jauh dari kami, tersenyum dengan hangatnya saat aku bertukar pandang dengannya. Membuatku berdiri dari tempatku dan melambai kearahnya yang sudah berjalan mendekat "Itu dia" ucapku padanya yang menatapku namun seperti tak membutuhkan penjelasan apapun.

"Aku harus balik sekarang" kataku sambil menikmati tegukan terakhir long blackku. Sepertinya bukan hanya efek kafein yang membuat jantungku berdebar hebat. Tapi langkah kaki yang semakin mendekat dan pandangan sosok di hadapanku inilah yang membuat jantungku semakin tidak karuan.

"Hi" sebuah suara yang belakangan hangat di telingaku menyapa ramah.

Sosok di hadapanku melepas pandangannya dariku dan berdiri dari tempatnya "Hi" balasnya "Her bestfriend of life" ucapnya memperkenalkan diri.

Dia tertawa, orang yang sekarang merangkul mesra pundakku itu tertawa hangat "She told me so" ucapnya "Kalo gitu, kenalin..." kalimatnya menggantung, tatapanny beralih padaku. Begitu hangat dan mesra "Her future" sambungnya kemudian sambil mempererat rangkulannya.

Dia -yang sempat mengurai dulu bersamaku- tersenyum. Senyuman yang tidak bisa aku deskripsikan, sekilas dia (lagi-lagi) merangkul erat manik mataku "Don't hurt her" katanya. Ucapan yang lebih terdengar seperti sebuah gumaman. Kemudian dia berjalan kearah kami dan menepuk pundak dia yang di sebelahku dengan hangat "I mean it" bisiknya kemudian. Aku bisa merasakan keseriusan disana. Sesuatu yang jarang sekali aku dengar dulu.

Dia -yang merindukan dulu- menatapku sekilas dan tersenyum "Be happy" ucapnya tanpa suara. Lalu berbalik meninggalkan kami yang mematung di tempat kami berdiri. Rangkulan di pundakku tidak mengendur, jemarinya mulai mengusap ujung pundakku "You'll be. You should" bisiknya lembut.

Aku menatapnya, lalu tersenyum dan mengangguk. Melangkah pergi meninggalkan salah satu kedai kopi favortiku sambil berbisik pada angin "Dulu memang begitu indah dan aku begitu jatuh dengan telak. Tapi sekarang bukanlah dulu, kelak kita akan sama-sama menyambung hidup dengan dulu yang terselip di relung hati....."


-END-