Pages

Monday, September 30, 2013

Senja




Senja ini aku mampu menuliskan larik-larik paling perih. Menuliskan, bagaimana langit runtuh dan jingga gemetar di ujung sana. Aku mencintainya sesekali, dan dia pun seperti mencintaiku. Dan kala senja seperti ini, mestinya aku mampu merengkuhnya di bawah jingga tanpa tepi.

Bagaimana mungkin aku tak terhanyut dalam tenang matanya, tapi aku sanggup menulis larik-larik puisi ini karena di kepala, dia tak lagi ku capai, di dada, dia tak lagi ku gapai. Dan senja ini, puisi menetas di dada seperti embun yang menetes di rerumputan.

Tak mengapa jika cinta tak bisa disini menahan dan menjaga. Sebab seingin apapun aku agar dia ada disini, tetap saja tatapku tak sanggup walau hati ini terus mencari.

Pepohonan berubah putih dan patah senja ini juga. Kami yang dulu sempat bersama, kini jatuh sendiri-sendiri.

Aku memang tak lagi mencintainya, sungguh. Cinta itu sungguh ringkas, namun melupakannya butuh waktu. Karena setiap senja seperti ini, sakit itu kerap terasa. Jiwaku amat mati.

Tapi sakit ini adalah sakit terakhirku karenamu, dan ini puisi terakhirku yang ku tuliskan tentangmu. Kau, sebuah nyanyian yang selalu dilagukan sepi. Kau, jantung yang mendenyutkan arti dari sekumpulan aksara mati.