Pages

Tuesday, May 21, 2013

Un Soir de Paris



Senja itu,  matahari tua beradu dengan mega melahirkan kilau jingganya dari balik jendela coffee shop di kawasan Champs-Élysées, Paris. La plus belle avenue de monde memang benar-benar pantas untuk menggambarkan keindahan jalanan di Paris yang begitu terkenal itu. Orang-orang yang lalu lalang dalam diam, pasangan yang mengumbar mesranya, juga beberapa orang yang tampak terpukau dengan real estate termahal kedua di dunia setelah Fifth Avenue di New York itu memberikan sedikit hiburan bagi sepasang mata yang menerawang dari balik jendela.

“Le ciel est trés nuageux” sebuah suara yang terdengar begitu familiar mengagetkan pemilik mata yang sedari tadi mendaratkan pandangannya pada orang yang lalu-lalang mengitari Champs-Élysées. Membuatnya menoleh dan tersenyum pada gadis berambut terkucir yang melepas celemek dari tubuhnya.

“Mendung banget sih, ada apa?” tanyanya lagi setelah menarik kursi dihadapannya dan menghempaskan tubuhnya disana.

“Il va  faire de l’orage” jawab pemilik sepasang mata itu sambil mengetukkan jarinya diatas meja coffee shop milik gadis  dihadapannya itu.

“Badai apa? Kamu ini mengada-ada aja” gadis itu menggeleng, membuat rambutnya yang terkucir bergoyang ke kanan dan ke kiri.

“J’ai soif. Vous désirez? Chocolat chaud?” tanya gadis itu dengan mimik gerah sambil memanggil salah seorang pelayannya, memesan minuman.

“Oui. Volontiers” pemuda itu mengiyakan tawaran gadis itu untuk memesan coklat hangat sambil menarik sudut bibirnya, melengkungkan sebuah senyuman.

Setelah gadis itu menyebutkan pesanan coklat panas mereka kepada pelayan yang datang dengan tergopoh-gopoh kearah mereka, tidak ada lagi yang bersuara. Mereka berdua terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, membiarkan keheningan memenjarai mereka diantara pelanggan coffee shop yang juga sepertinya enggan untuk membuat ricuh suasana.

“Aujourd’hui , je déjeune avec un collégue” kalimat itu meluncur dari bibir si pemilik sepasang mata yang sedari tadi masih menatap berkeliling dan semakin tampak gelisah.

“Sounds great. Makan siang sama mereka dimana?” balas gadis dihadapannya itu dengan senyum yang masih terus mengembang walau dia sadar ada yang tidak beres dengan pria dihadapannya itu.

“Chez Plumeau, Montmartre. Merci” ucapnya singkat sambil berterimakasih kepada pelayan yang menghantarkan coklat panas untuk mereka.

Good place. Aku juga pernah kesana beberapa kali sama temen” respon gadis itu sambil langsung menyeruput coklat panas yang baru saja disajikan dihadapannya. Coklat panas di coffee shop miliknya ini memang terkenal kelezatannya, hingga dirinya sendiri pun nyaris tidak bisa mengabaikannya.

Pria itu hanya tersenyum sambil menatap gadis dihadapannya itu. Gadis yang tenggelam dengan kenikmatan coklat hangat di senja yang cukup dingin di kota teromantis di dunia. Mata gelapnya meneliti setiap inci wajah gadis dihadapannya itu, membiarkan tubuhnya menghangat dengan sendirinya.

“Repose-toi bien” ucap gadis itu mengagetkan pria yang masih mengaitkan matanya pada wajah dihadapannya dan membuatnya sedikit tersentak.

“Huh?” pemuda itu mengernyit heran sekaligus terkejut.

“Istirahatlah, kamu butuh istirahat. You look so worse lately” gadis itu tersenyum sambil kembali menyeruput coklat hangatnya. Tidak bisa dipungkiri, masih ada kecanggungan yang merajainya saat membicarakan hal yang cukup personal dengan pria di hadapannya itu.

Pria itu tertawa kecil “Vous avez raison. Partner kerja aku juga bilang begitu” jawabnya sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas ucapan gadis dihadapannya.

Gadis itu hanya tersenyum sambil menghela nafas kecil. Perasaannya kembali bergejolak, membuatnya ragu akan apa yang dia rasakan. Semua terjadi begitu cepat setelah apa yang terjadi diantara mereka berakhir dengan sangat tragis. Cinta yang pernah mereka miliki akhirnya harus mereka putus, harus mereka kubur dalam-dalam sebelum sempat saling menyapa. Dan tidak ada yang patut disalahkan. Tidak keduanya, tidak juga waktu, apalagi keadaan. Takdirlah yang telah menuntun mereka ke jalan yang mereka tapaki sekarang. Dan di kota teromantis sedunia itu, semua berakhir sekaligus bermula.

“Tu me manques...”

“Ryan...”

“Ma chérie...” sebuah suara rendah mengagetkan Ryan dan Mia yang nyaris akan tenggelam dalam percakapan penuh emosi.

“Hey, mon amour...” Mia menyahut dengan nada suara yang sedikit meninggi seolah ingin menegaskan pada Ryan tentang statusnya dengan sang pemilik suara rendah yang dengan seketika membuyarkan semua skenario yang telah tersusun matang dikepala Ryan.

Don’t you have any course this evening?” Mia yang jemarinya telah di genggam pemuda dihadapannya itu bertanya lembut tanpa memperdulikan Ryan yang menatap mereka dalam diam, berusaha meredam sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Dan dari sara Mia menatap pemuda itu, cara Mia membenarkan jaket pemuda itu, semuanya benar-benar membuat Ryan harus menelan kembali semua yang akan diucapkan.

 Je peux résister à tout, sauf à toi. I want to meet you first before i take the French course. Lack of spirit lately” ucap pemuda tampan itu dengan aksen British yang begitu kental. Mata hijaunya mengerjap nakal kearah Mia yang menatap balik pemuda itu dengan sangat lembut.

“Hahaha...” Mia hanya tertawa renyah sampai matanya menangkap sosok Ryan yang menggeser duduknya sambil berdeham kecil sebelum menyeruput coklat panas yang dipesankan Mia.

“Ah, mon amour it’s Ryan, my mate. He’s also from Indonesia” Mia mengenalkan Ryan yang langsung menyambut uluran tangan pemuda dihadapannya itu dengan canggung.

“Peter...” pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan suara rendah yang terdengar begitu khas dan tentu saja pelafalan yang terdengar begitu British.

“Ryan...” balas Ryan sekenanya dan kembali pada posisi duduknya sambil terus meredam perasaan kesal pada dirinya sendiri.

Well, as you know i’ve a class then now i’ve to go. Wait me okay, i’ll pick you up after the course. Okay?” Peter berucap sambil mengusap pucuk kepala Mia yang tersenyum manis sambil terus menatap Peter penuh cinta.

Mia tidak menyahut, namun gadis itu mengagguk sambil mengelus lengan kokoh milik Peter yang langsung mendaratkan sebuah kecupan dibibir tipis milik Mia “Chocolat chaud?” tanyanya usil saat mendapati sisa-sisa coklat panas dari bibir Mia yang langsung membuat Mia mengangguk disela tawa kecilnya.

“Semangat!” Mia membisikkan kata dalam bahasa Indonesia saat tubuh kecilnya di peluk oleh tubuh jangkung Peter.

“Terimakasih” balas Peter dengan logat anehnya.

“Tu es toujours dans mon coeur. Forever” ucap Peter sambil lagi-lagi mendaratkan kecupannya. Membuat semburat merah di pipi Mia semakin terlihat jelas dari sudut mata Ryan yang sedari tadi memperhatikan mereka.

Enchanté, Ryan. À plus tard” Peter berpamitan pada Ryan yang hanya menyahut dengan sebuah senyuman kecil yang terlihat begitu dipaksakan dan anggukan enteng dari tempat duduknya.

“Votre petit ami? pacar kamu?” cecar Ryan sesaat setelah Mia kembali duduk dihadapannya dengan rona merah jambu di pipi dan senyum tertahannya yang masih bisa dilihat Ryan dengan sangat jelas.

Mia menghela nafas sambil mengangguk, menyeruput coklat panasnya lagi dalam diam, membiarkan Ryan berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Entah kenapa Mia begitu yakin Ryan akan menyatakan sesuatu tentang rasanya, perasaannya atas Mia. Hanya saja tidak ada lagi yang mampu Mia lakukan. Hatinya telah dimiliki oleh Peter. Nyaris seutuhnya dan nyaris menghapus nama Ryan yang sempat terpatri di sudut terindah hati Mia.

“Quelle chance. Beruntung...” gumam Ryan sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang didudukinya. Matanya kembali menatap orang-orang yag berlalu lalang di sepanjang Champs-Élysées. Dan matahari semakin lama semakin condong ke barat, menghasilkan semburat jingga yang seolah mampu menggambarkan perasaan Ryan yang begitu jingga. Cerah, berwarna, namun memiliki sisi gelapnya.

“Pardon...” Mia berseru sambil menjauhkan bibir cangkir dari bibirnya.

Hening yang tercipta untuk beberapa saat sampai akhirnya Ryan memecah keheningan itu dengan sebuah pertanyaan yang lagi-lagi membuat Mia mengernyit heran “kenapa...?”

“Kenapa? Je ne comprends pas. Kamu ngomongin apa sih?” Mia balas bertanya pada Ryan yang masih tidak melepaskan matanya dari jendela coffee shop yang mulai semakin ramai itu.

“Vous comprenez bien... kamu pasti ngerti maksud aku” ucap Ryan yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Mia.

“Aku bener-bener ga ngerti” tambah Mia saat Ryan masih enggan berbicara lebih banyak tentang maksud perkataannya, atau lebih tepatnya pertanyannya.

“Aku ga pernah peduli sejauh apa jarak yang memisahkan kita. Aku juga ga pernah peduli setebal apa rindu yang udah nyelimutin aku. Aku...”

“Ryan...” Mia memotong ucapan Ryan dengan suara yang tercekat. Tubuhnya seketika menegang setiap mendengar kata demi kata yang terucap dari bibir Ryan.

Ryan mengalihkan pandangannya dari jendela dan memandang wajah manis milik Mia. Wajah Asianya yang memabukkan terlihat begitu kontras dengan orang-orang disekeliling mereka saat itu, membuat setiap mata pasti akan menoleh dua kali untuk melihat keindahan yang dimilikinya. Kulit coklatnya terlihat begitu sehat sekaligus eksotis berpadu dengan rambut hitam gelapnya yang nyaris selalu terkuncir. Mata besar milik Mia juga selalu membuat gadis itu terlihat seperti terus bersemangat.

Mia merasa risih saat Ryan terus menatapnya nyaris tak berkedip, membuat perasaannya kembali tergelitik mendapati pandangan Ryan yang cukup dirindukannya setelah Ryan pergi untuk menyelesaikan S1nya di Indonesia sesuai keinginan ibunya. Meninggalkan Mia yang memang sudah menetap di Paris lebih dari 15 tahun.

“Mia...” Ryan mendekat dan meraih kedua tangan Mia kedalam genggamannya. Membuat Mia bungkam dan hanya mampu menatap Ryan dan segala tingkah polah bodoh yang dilakukannya.

“Je suis amoureux de toi...” ucap Ryan dengan pandangan mata yang menatap lurus kearah Mia sambil berusaha meyakinkan Mia atas ucapannya.

Mia terdiam untuk beberapa detik sebelum akhirnya sebuah tawa renyah yang kaku terdengar dari bibirnya “Vous plaisantez!” Mia tidak percaya dan dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Ryan dan mengatur debaran jantungnya yang menjadi.

Ryan menggeleng “Je t’aime parce qu’il y a dans ton coeur je trouve un grand amour pour moi” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. Ya, Ryan mencintai Mia karena Ryan selalu merasa Mia memiliki cina yang besar untuknya. Selalu.

“Non...” kali ini suara Mia terdengar bergetar. Ada hantaman yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Ada perasaan campur aduk yang menggerayanginya saat mendengar setiap kalimat yang diucapkan Ryan padanya. Ada cinta disana, ada kesungguhan dan ada kepastian. Ya, kepastian. Kepastian yang selalu Mia tunggu. Bertahun-tahun.

Toi et moi, ça ne changera pas” sambung Ryan lagi saat melihat sesuatu mengusik Mia. Namun Mia masih menggeleng lemah, berusaha meredam sesak di dadanya sambil terus meremas ujung bajunya. Semua tidak akan menjadi serumit ini kalau saja...

“Menapaki jalan rindu itu ga gampang kan? Kamu tau benar hal itu. Ada kabut, ada airmata, ada perih, tapi dibalik itu semua ada cinta. Dan kamu tau, dihatimu selalu ada aku yang akan memelukmu. Iya kan?” Ryan lagi-lagi mencoba meruntuhkan pertahanan Mia. Mencoba meyakinkan Mia dengan cintanya walau dia tau Mia sudah jatuh cukup jauh kedalam kelembutan dan segala yang diberikan lelaki British yang dikenalkan Mia dengan senyum sumringahnya beberapa waktu lalu. Lelaki yang pastinya mengisi hari-hari Mia saat Ryan kembali ke tanah air untuk menimba ilmu.

“Que c'est drôle...” Mia berujar dengan sinis.

“Kamu itu lucu ya. Kamu itu ngebawa terang buat aku, ngebawain tenang. Dan kamu datang, terus kamu ngilang gitu aja, sekarang kamu balik dan...dan kamu omongin hal ini kaya ga punya beban apapun” Mia berusaha sekuat tenaga untuk terus menyambung setiap kata yang terdengar bergetar dan semakin bergetar. Ryan benar-benar mempermainkan perasaannya.

“Mia, please... i know that...”

No. You know nothing. Kamu ga tau seberapa susahnya aku disini saat kamu ga ngabarin aku, saat kamu ga bales semua e-mail aku, saat kamu pergi seolah-olah kamu ga ninggalin siapapun disini. Très désagréable!”

“Aku...Aku mau konsentrasi sama...”

“Apa? Kamu mau bilang kalau kamu mau konsentrasi sama kuliah kamu?” Mia menyahut dengan sangat sinis. Dagunya terangkat dan jelas sekali gadis itu begitu terluka. Terluka oleh cinta lamanya.

“Mia don’t make it hard for me...”

You always do that. You get me into trouble, everytime. Aku terus menerka-nerka gimana perasaan kamu ke aku. Kamu selalu suruh aku nebak kamu, mikir, berspekulasi sendiri dan...”

“Apa itu semua ga cukup, Mi? Apa semua kebersamaan kita ga bisa nunjukin bahwa kita itu punya sesuatu untuk dipertahankan?” Ryan menyahut sambil berusaha untuk menahan desibel suaranya agar tidak meledak-ledak.  Ryan sadar Mia terluka, terluka karenanya. Dan mendapati Mia dengan suaranya yang tercekat sekaligus bergetar, Ryan benar-benar nyaris gila.

Mia menggeleng lemah sambil tertawa getir “Aku bukan dukun. Aku cuma cewek biasa yang butuh kepastian, Yan. Mana aku tau kamu suka sama aku kalau kamu ga pernah bilang apapun” papar Mia getir.

Ryan menghela nafas “Aku kira kamu cukup dewasa untuk paham bahwa gak semua hubungan butuh label”

Mia mendengus mendengar ucapan Ryan yang seolah memojokkannya “Tu ne sais vraiment pas quoi que ce soit. Kamu ga tau apa-apa. Pengorbanan cinta itu persis pelangi. Arc-en-ciel. Akan ada bahagia setelah kesukaran. And i got my rainbow...” Mia menggantungkan kalimatnya sambil mencoba membaca ekspresi Ryan sebelum akhirnya menyebutkan sebuah nama “Peter...”

Ryan menarik tangan Mia saat gadis itu hendak beranjak dari tempatnya dengan mata berkaca-kaca. Sumpah mati Ryan tidak akan kuat melihat Mia seperti itu, tapi dia merasa pembicaraan mereka tidak bisa selesai begitu saja. Setidaknya Mia harus tau bagaimana perasaan Ryan padanya. Walaupun Mia tidak akan membiarkannya lagi masuk terlalu jauh menyusuri relung hati gadis manis itu.

Mia kembali duduk di bangkunya sambil melemparkan pandangannya kearah jendela yang semula menjadi tempat pengalihan pandangan favorit Ryan. Namun dengan seketika darahnya berdesir dan pandangannya mengabur saat kata demi kata meluncur dari bibir Ryan “Je veux être l'air que tu respires, je veux être le ciel que tu contemples, je veux être les lèvres que tu embrasses, et par dessus tout, je veux être la raison qui fait battre ton cœur” Ryan menyebutkan kalimat itu dengan tangan yang masih menggenggam jemari milik Mia.

Mia menggigit bibirnya berusaha menahan tangisnya “You did all those things, Ryan. Kamu udah pernah jadi udara yang aku hirup, kamu juga udah pernah jadi langit yang selalu aku pandangi. Jadi bibir yang selalu ingin aku cium, dan semuanya. Dan yang jelas kamu juga pernah jadi alasan kenapa jantungku berdebar-debar. Pernah...” Mia membalikkan semua pernyataan Ryan yang benar-benar mengusiknya itu.

“Dulu...dulu sekali” sambung Mia lagi dengan sebulir air mata yang jatuh turun ke pipinya yang dengan cepat langsung di hapusnya. Secepat dirinya beranjak, meninggalkan Ryan yang memejamkan matanya, berusaha meredam semua perih yang dirasakannya.

Ryan kembali menghela nafasnya berat. Ada rasa yang tak tergambarkan menyelip di perasaannya saat tiba-tiba sosok Peter muncul dari pintu yang masih bisa diawasai oleh Ryan. Menghampiri Mia yang duduk di dekat barista sambil menyeruput kopi, terlihat berusaha menstabilkan perasannya. Mau tidak mau Ryan melihat pemandangan dihadapannya, Peter mengalungkan kedua lengannya di leher Mia yang tampak terkejut karena Peter kembali begitu cepat, secepat kecupan bodoh yang lagi-lagi mendarat di bibir Mia. Ryan juga dapat melihat cinta yang begitu besar disana. Melihat mata indah milik Mia yang dulu mengerjap untuknya, karenanya. Senyum yang terkembang, tawa yang teretas, semua memang pernah ada untuk Ryan. Ya, dulu. Du-lu.

Tanpa Ryan sadari dirinya beranjak dari bangku tempatnya duduk. Beringsut pergi tanpa sekalipun melihat ke belakang. Menoleh keara Mia yang sempat mencuri pandang kearahnya. Berusaha melepaskan cinta pertamanya. Cinta yang bagaimanapun akhirnya, rasanya, apapun keadaannya, akan terus terkenang. Cinta yang akan terus diingat sampai kapanpun.

Sementara Ryan, Ryan pergi meninggalkan coffee shop di kawasan megah Champs-Élysées beserta cintanya di dalam sana sambil berbisik pada angin senja di kota teromantis di dunia “Merci pour tout l'amour que tu me donnes. Je ne t'oublierai jamais. Mon premier amour” sambil berharap angin kota Paris akan dengan senantiasa menyampaikan pesannya pada Mia, gadis yang dicintainya.

“Terimakasih untuk semua cinta yang kamu berikan. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Cinta pertamaku...”



- End -