Pages

Friday, February 8, 2013

Dilemma [sneak peek]




“Sebuah cerita cinta masa lalu bisa jadi hal yang sangat membekas dan sangat sulit untuk dilupakan. Cinta yang terkadang masih membuat kita terjebak olehnya. Kenangan pahit akan tersingkir bersamaan dengan kenangan indah yang akan selalu membekas dan berubah menjadi bulir air mata. Dan saat itu adalah saat dimana tidak ada seorang pun yang tau kecuali kamu, tuhan, dan kamarmu yang seketika berubah dingin...”


***

“Giiin... Lo itu ngapain aja sih? Daritadi gue cuap-cuap apa lo ga dengerin sama sekali, haah? Lo pikir gue apa? Radio rusak? Pengantar tidur lo?” Suara cempreng gadis dengan kawat gigi yang berbaring disebelah Gina mengagetkan Gina yang menatap nanar, lurus ke langit-langit kamarnya.

“Lo itu ngagetin gue aja sih, Le. Gabisa liat orang tenang dikit aja” Gina menggerutu sambil beranjak dari kasur king size nyamannya menuju sliding door yang menyambungkan kamar ke balkon yang mengarah ke taman belakang rumahnya. Mata hazel indah milik Gina yang diperoleh dari ayahnya yang memiliki darah Belanda terlihat berbinar menatap bintang yang bertabur menghiasi malam.
“Bukan ngagetin geblek. Lo sendirikan yang minta gue menjelaskan semua kegamangan lo. Kerisauan hati lo. Kegundah-gulanaan lo. Dan segalanya tentang lo dan masa lalu lo itu. Lo nya malah diem kaya mannequin naked gitu” Lexy yang bertubuh kurus yang berwajah sangat Asia ikut beranjak dari kasur nyaman milik Gina dan berjalan mendekat, menyusul Gina yang sudah bersandar di pagar besi balkonnya sambil menengadah menatap bintang-bintang yang bertaburan.
Gina hanya mampu tertawa mendengar omelan Lexy yang terkadang memang begitu berlebihan. Naked mannequin. Gina bener-bener ga habis pikir Lexy temennya yang super duper sassy itu bisa ambil perumpamaan seperti itu buat ngegambarin Gina yang jelas-jelas melamun. Benar-benar tidak masuk akal bagi Gina, tapi itulah Lexy. Sahabatnya sejak SMP yang begitu dia sayangi. Satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya walau terkadang Gina suka bete sendiri ngadepin Lexy yang cerewet ampun-ampunan.
“Jadi...? Kesimpulannya, setelah 2 taun ga berkabar lo masih nungguin si mister almost fine itu?” Lexy melirik Gina yang masih sibuk dengan bintang-bintang di langit yang tampak begitu cantik malam itu, membuat hatinya lagi-lagi berdesir. Entah karna keindahan yang dipancarkan bintang-bintang, atau karna perasaannya sendiri yang sedang tidak menentu.
“Namanya Bara, Le. Bukan Mister almost fine atau yang lainnya” Gina mendelik kearah Lexy yang dengan santainya menatap Gina tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Lexy bukannya menjawab, gadis kurus itu justru berjalan kearah meja rias Gina dan mengambil sebuah foto hasil photo box yang terselip di pinggiran cermin Gina. Foto Gina dengan seorang cowok bermata gelap yang tersembunyi dibalik kacamatanya. Di foto itu Gina tampak tersenyum lebar sambil berpose dalam beberapa gaya. Di pojok kiri atas, Gina tampak tersenyum sambil melirik cowok berkacamata tadi yang juga melirik kearah Gina. Lalu ada foto Gina yang menyandarkan kepalanya di pundak cowok tadi, lalu foto mereka dengan kedua lidah terjulur, saling berangkulan satu sama lain, dan yang paling Lexy suka adalah foto saat Gina mengerucutkan bibirnya kearah kamera sementara cowok disebelahnya itu merangkulkan sebelah tangannya pada Gina dan tangan satunya yang bebas menjawil manis pipi Gina. Serasi.
“Lo liat ini. Ada Davin yang jauuuh lebih hebat dari si Mister almost fine lo itu. Jelas banget kalo Davin sayang sama lo, Gin. Cinta. Dia itu bukan almost fine lagi, tapi udah fine banget dah buat lo” Lexy menyodorkan foto Gina dan Davin (sahabat Gina dari kecil) yang hanya dibalas dengan sebuah lirikan singkat dari Gina.

***

Natagina Anne Shekclerr. Gadis Indo-Belanda yang hidup dengan kemewahan, tapi tetap dalam kesederhanaannya. Hotel milik Shecklerr company yang tersebar nyaris diseluruh tempat wisata dunia tidak membuat Gina senang bepergian ke tempat-tempat seperti New York, London, Dubai, Jepang, atau Paris, bahkan Los Angeles dan Las Vegas sekalipun. Gina lebih senang di negaranya sendiri. Derawan, Bali, Lombok, Sabang, bahkan Wakatobi dan Raja Ampat pernah didatanginya entah dengan keluarganya, atau teman-temannya.
Gina adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya Melissa Anne Shekclerr adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi fashion terkenal di Milan yang sudah malang-melintang di dunia fashion. Pintar? Sudah jelas. Hanya saja Mels –begitu Melissa biasa dipanggil- sangatlah berbeda dengan Gina. Mels tidak akan segan-segan memamerkan kekayaan, kecantikan, juga kepintarannya dihadapan orang lain. Namun orang-orang nyaris tidak pernah sebal ataupun berbicara hal-hal yang buruk tentang Melissa karna mereka beranggapan bahwa adalah hal wajar bagi Melissa untuk menyombongkan diri dengan segala yang dimilikinya, sehingga bagaimanapun Mels seenaknya merubah jadwal pertemuan hanya untuk menghadiri sebuah pesta di belahan dunia lain atau bagaimana Mels meninggalkan runaway hanya karna sebuah panggilan kecil party mendadak dari sahabat-sahabatnya, setiap orang tetap menyukai Melissa. Tetap senang dengan gadis cantik yang chic itu.
Sementara Gina, banyak pria yang mengejar gadis cantik nan rupawan itu dengan atau tanpa embel-embel Shecklerr dibelakangnya. Sosok Gina yang terkesan manis membuat banyak pria berlomba-lomba mendekati Gina. Rambut curly brunette Gina yang kerap dibiarkan terurai akan bergoyang-goyang mengikuti lenggok tubuh semampainya saat berjalan. Mata hazelnya tampak menyatu dengan kulit putihnya. Juga bibir penuhnya yang diolesi lipgloss, selalu terlihat menarik. Kepribadian Gina yang ramah juga membuatnya gampang dekat dengan siapapun disekolahnya. Sekolah biasanya. Sekolah negri yang meninggalkan kenangan begitu mendalam baginya.
Sejak kembali ke Indonesia saat berumur 10 tahun, Gina sudah memutuskan untuk masuk ke sekolah umum di negara asal ibunya itu. Selama di Belanda Gina memang disekolahkan di sekolah khusus. Bukan sekolah anak berkebutuhan khusus, tapi seperti sekolah bertaraf Internasional dengan biaya yang pastinya selangit. Dan sejak mengetahui keputusan ayahnya untuk melebarkan sayap perusahaan Shecklerr ke wilayah Asia khususnya Asia Tenggara, Gina yang tertarik dengan negara asal ibunya itu langsung berandai-andai sampai akhirnya memutuskan untuk bersekolah di sekolah umum (negeri). Awalnya Damien Shecklerr –ayahnya- tidak menyetujui sama sekali dan memilih home schooling untuk Gina. Namun setelah satu tahun ber-home schooling dan Gina masih merengek tentang sekolah negri, Damien akhirnya mengizinkan Gina ke SMP negeri dengan catatan harus tetap menjadi nomer satu yang tentu saja lagsung disanggupi Gina yang akhirnya bertemu Lexy Longo gadis berkebangsaan Indonesia yang mempunyai darah Amerika Latin dari buyutnya. Ya, Buyutnya.

***

Gina uring-uringan sambil menatap notebooknya yang menjadi satu-satunya sumber cahaya dikamarnya yang gelap itu. Entah kenapa Gina tiba-tiba merasa begitu kalut dan sedih. Pikirannya kembali pada masa-masa saat pertama kali dirinya mengenal sosok jutek yang kalau boleh jujur sangat berkharisma. Seniornya sewaktu SMP yang merupakan kapten tim basket kebanggaan sekolahnya. Hampir seluruh siswi disana menaruh rasa pada cowok tersebut. Entah itu kagum, entah itu sekedar suka, atau rasa sebal karna sikap cowok itu yang memang sangat cuek.
            Akbar Aradi –Bara-, cowok kebanggaan SMP Negri 178 itu memang terkenal dan dikenal nyaris seantero sekolah. Mulai dari kepala sekolah, staff administrasi, guru-guru, siwa-siswi SMPN 178, penjaga kantin, satpam, semua pasti mengenal sosok Bara yang supel. Supel? Iya, Supel. Sebenarnya Bara adalah sosok supel yang gampang bergaul dengan siapa saja, jelas terlihat dari bagaimana dia menjaga hubungan baik dengan teman-teman sesama siwa SMPN 178 atau dengan siswa-siswa dari sekolah lain. Hanya saja pembawaan Bara yang pendiam dan cuek membuatnya mendapat julukan senior jutek dari junior-juniornya. Terlebih saat masa orientasi, saat Bara dengan enggannya menerima surat cinta dari hampir setengah siswi yang masuk ke SMPN 178. Bara juga terkenal dengan omongannya yang pedas, yang tidak jarang membuat siapapun yang menjadi lawan bicaranya bergidik mendengarnya. Namun kembali lagi, sosok itu terlalu bersahaja untuk dibenci.



***

“Mas Baraaa...” suara seorang gadis kecil menyadarkan Bara dari lamunannya. Menyadarkan Bara yang entah sejak kapan mulai masuk kedalam memori masa lalu, membiarkan setiap kepingan kenangan dalam otaknya berputar dan membawanya mengingat kenangan tersebut.

            “Alikaaa... Kamu makin cantik aja” Ucap Bara sambil memeluk Alika, keponakannya yang berumur 6 tahun itu erat.
            “Om Baranya capek, likaaa. Kamu mendingan ganti baju dulu deh sama mbak Mia sana. Baru ntar main sama om Bara. Gih, sana” Tami, kakak ipar Bara sekaligus Bunda Alika berujar sambil duduk dihadapan Bara yang masih memeluk Alika erat.
            “Siapa bilang mas Bara capek, orang mas Bara dari tadi nungguin Alika pulang kok. Yakan?” Bara mencium pipi Alika yang tersenyum manis kepada masnya itu.
            “Mas, mas, Om tau. Perasaan masih muda kamu” Tami mendengus mendengar Bara yang tetap ngotot dipanggil mas oleh Alika yang jelas-jelas adalah keponakannya.
            “Alika lebih senang manggil mas, bundaaa. Mas Bara kan emang masih muda” Jawab Alika polos sambil bergelayut manja di lengan Bara. Membuat Bara tertawa senang sambil menatap Tami yang hanya mampu menggeleng.
            “Yaudah sana ganti baju dulu, baunya gaenak ni, Lika” Bara mengendus Alika sambil mengernyitkan wajahnya.
            Alika memukul pelan Bara yang tertawa mendapti ekspresi sebal Alika “Jahat deh Om Bara. Dasar udah tua” Alika mencibir sambil berlalu, meninggalkan Bara yang tertawa menghilangkan kegalauannya untuk sementara waktu.
            “Masih bisa ketawa gitu kamu, Bar?” suara rendah Tami seketika menghentika tawa Bara. Membuat Bara kembali menunduk dan menghea nafas pelan.
Walaupun Tami adalah kakak ipar Bara, tapi Tami cukup banyak mengetahui hal-hal tentang Bara. Banyak hal yang Bara ceritkan pada Tami, entah itu soal kuliahnya atau soal perempuan. Tami juga tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa Bara sedang memikirkan sesuatu, Tami akan bisa segera menangkap kegundahan Bara hanya dari bagaimana cara Bara menatap. Tatapan kosong Bara memang gampang sekali terlihat saat cowok berperawakan dewasa itu dalam masalah.
“Masih mikirin yang kemarin?” Tembak Tami tanpa babibu lagi. Tami cukup gregetan melihat Bara yang masih berpaku pada satu cewek dari masa lalunya yang masih terus dipikirkannya. Entah bagaimana cara berfikir Bara sebenarnya, tapi yang Tami tau Bara terlalu payah hanya untuk sekedar menunjukkan rasanya, terlalu takut untuk menyampaikan hal yang sebenarnya dirasakannya.
“Kalo kamu terus-terus begini, gimana kamu bisa balik lagi deket kaya dulu sama dia, gimana kamu bisa tau keadaan dia, dan kamu yang begini ngarepin kalo dia bakal terus ada buat kamu? Ngarepin dia terus-terusan single? Ngarepin dia bakal nunggu kamu sampe kamu berani ngungkapin atau setidaknya nunjukin rasa kamu ke dia? Iya?” Kata demi kata yang meluncur dari bibir Tami serasa menampar Bara telak di pipinya. Begitu perih dan pastinya akan terus diingatnya. Bara sadar gadis itu tidak akan terus menunggunya, tapi Bara juga cukup tau dirinya terlalu pengecut untuk kembali memulai.
“Aku capek, Mbak. Mau istirahat” Bara tau akan banyak ‘tamparan’ yang akan Tami layangkan padanya, namun Bara juga tau bahwa dia tidak akan siap menerima semua tamparan itu. Tidak akan pernah siap. Menyadari betapa pengecutnya saja dirinya sendiri sudah cukup membuat Bara menderita.
“Kalo jodoh, gimanapun caranya pasti akan ada jalan” Seru Bara sambil berbalik meninggalkan Tami yang masih menatapnya heran.
“Tapi kalo gaada usaha, garis tangan bisa berubah sendiri. Dimana-mana, cewek itu butuh kepastian, Bar. Gaada cewek yang akan selalu nunggu sesuatu yang ga pasti” Jawab Tami yang semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Bara.
“Gue tau, mbak. Gue emang pengecut” Gumam Bara pelan.

***


“Gin...” sebuah suara yang Gina hafal betul menyapanya pelan namun cukup kuat untuk menghentikan langkah teraturnya di tengah keramaian koridor SMAnya.
“Davin” Sahut Gina saat berbalik dan mendapati sosok Davin dengan varsity dan jeans belelnya menatap Gina sendu.
Davin berjalan mendekat kearah Gina denga tatapan sendunya yang membuat Gina heran sekaligus salah tingkah. Bagaimanapun juga, pengakuan Davin tentang rasa yang dimilikinya itu sedikit banyak membuat Gina bingung bagaimana harus menyikapi Davin yang seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Bersikap seolah semuanya berjalan seperti dulu padahal Gina sudah mati-matian berusaha agar tidak terlihat berbeda.
“Kamu udah selesai sidik jari?” Tanya Davin saat mereka hanya berjarak beberapa centimeter.
Gina hanya mampu mengangguk sambil menyingkirkan tatapannya dari wajah Davin yang masih membuatnya terus merasa bersalah karna tidak bisa membalas rasa dari sahabatnya itu. Davin terlalu baik dan Gina terlalu bodoh telah menyia-nyiakan Davin, setidaknya begitu menurut pendapat Lexy, bahkan Nate yang mengetahui cerita tersebut dari Lexy saat mereka nyaris menghabiskan malam yang panjang dengan saling bertukar cerita di apartemen Lexy.
“Jadi kamu bakal langsung ke Amerika?” Tanya Davin lagi saat melihat sebuah anggukan kecil dari Gina yang memberi efek indah pada rambut brunettenya yang bergelombang.
Gina lagi-lagi hanya mampu mengangguk. Kata-kata yang meluncur dari bibir Davin beberapa minggu lalu seperti kembali lagi terputar di otaknya, menyebabkan gaung yang membuat Gina sulit untuk memikirkan hal lain. Membuat Gina dipenuhi oleh suara parau Ega yang untuk pertama kali Gina dengar. Suara parau yang didengarnya dari sahabat yang disayanginya, yang menatapnya sambil berkaca-kaca. Entah menahan haru, entah menahan perih, atau justru mengekspresikan sebuah kelegaan. Gina hanya mampu menerka, tapi Gina juga jelas terluka dan merasa begitu jahat pada Davin yang selalu ada untuknya.
Davin masih menatap Gina saat Gina mencuri pandang mentapnya dengan ekor mata Gina. Davin masih menatapnya dengan tatapan sayang yang sama. Tidak bertambah, tidak juga berkurang sedikitpun. Hanya saja, sebuah asa yang tercabik dapat Gina lihat dengan jelas disana. Dimana sebuah kebahagiaan terhempas, terpecah belah berkeping-keping.
“Kamu sekarang ga ngerasa nyaman ya sama aku?” Tanya Davin yang sedari awal menyadari perubahaan air muka dan sikap Gina.
Gina menggeleng, namun dalam hati mengiyakan.
“Jadi?” Davin terus bertanya ditengah kebisuan dan kecanggungan yang terus diciptakan Gina, berusaha menemukan sebuah jawaban dari kebisuan Gina.
“Vin,...” Ada jeda yang tercipta untuk beberapa waktu “Gue... gue ga mau kita ber’aku’ – ‘kamu’. Kita ga terbiasa kaya gitu, Vin. Itu ngebuat gue...”
Davin tersenyum “Maaf, Gin. Gue emang lan...”
“Lo bukan lancang. Gue tau bukan hal yang mudah ngebiarin rasa lo yang jatuh terlanjur jauh itu ga berbalas, gue tau persis gimana rasanya cinta sendirian, Vin. Sakit. Jadi...”
 “Jadi harusnya lo bisa sedikit buka hati lo buat orang lain, Gin. Harusnya lo selesain cinta sendiri lo itu, sampe kapan lo harus nunggu dia dengan ketidak pastian? Sampe kapan lo mau nahan sakit yang lo ciptain sendiri itu? Sampe kapan, Gin?! Lo bahkan gatau mungkin dia udah nemuin kebahagiannya dari cewek lain. Dan lo masih tetap mau ngebiarin lo sakit untuk sesuatu yang bahkan lo sendiri gabisa nemuin obat dari sakit yang lo rasain itu?” Davin bersuara setengah berbisik, namun Gina yang nyaris seumur hidup mengenal Davin tau, ada emosi terselip di setiap helaan nafasnya, ada marah yang membumbung di setiap kata-kata yang meluncur dari bibirnya, dan ada luka yang ditorehkannya dihatinya sendiri. Membuat Gina semakin tak berdaya.
“Semua bakal indah pada waktunya, kok” Jawab Gina datar. Kalimat Davin memukulnya telak. Tepat di titik terlemahnya.
“Ya, dan waktu akan dengan senang hati beranjak ninggalin lo perlahan. Good luck buat semua, Gin. You’re still the best. Gue tau lo ga sebodoh itu akan ngebiarin diri lo terus menerus bertahan dengan yang ga pasti” Ucap Davin sambil berlalu meninggalkan Gina yang hanya mampu mematung menatap Davin yang berbalik dan perlahan menjauh, semakin jauh, hingga akhirnya hilang dari pandangannya.


*****


Thank you for reading this one! leave your comment below...
LOVE
xoxo

1 comment: